TEMPO.CO, Washington - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, sedang menghadapi proses pemakzulan di DPR terkait pembicaraan teleponnya dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskiy, pada 25 Juli 2019.
Saat itu, Trump meminta mitranya itu untuk menginvestigasi dugaan pelanggaran hukum oleh bekas Wakil Presiden Joe Biden dan putranya Hunter Biden terkait posisi Hunter di jajaran direksi perusahaan gas Burisma di sana.
Demokrat menuding Trump menggunakan posisinya sebagai Presiden untuk berupaya menyingkirkan lawan politik yaitu Biden, yang merupakan salah satu penantang utama untuk Pilpres AS 2020. Biden merupakan tokoh dan salah satu calon kandidat dari Partai Demokrat.
Demokrat juga menuding Trump menggunakan kekuasaannya untuk menahan dana bantuan keamanan kepada Ukraina sebesar sekitar US$391 juta atau sekitar Rp5.5 triliun agar mau menginvestigasi Biden dan putranya.
Konsititusi AS mengatur adanya perimbangan kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari. Ini membuat DPR AS memiliki kekuasaan untuk memakzulan Presiden jika terjadi pengkhianatan, suap, dan tindak kejahatan besar lainnya.
“Saat menyusun Konstitusi, para pendiri bangsa mengkhawatirkan kembalinya monarki di AS. Setelah berakhirnya Perang Kemerdekaan, mereka secara spesifik mengkhawatirkan munculnya Presiden-Raja yang terpengaruh oleh kekuatan asing,” kata Nancy Pelosi, ketua DPR AS, yang juga tokoh Partai Demokrat seperti dilansir Reuters pada Kamis, 5 Desember 2019.
Selain Trump, ada tiga Presiden lainnya yang pernah menjalani proses pemakzulan dalam sejarah AS. Namun, tidak ada satupun yang dilengserkan dari kursi Presiden oleh Senat.
Mereka adalah:
- Bill Clinton
Clinton mendapat masalah sejak bertugas sebagai Presiden di Gedung Putih. Dia dan istri, Hillary Clinton, menjadi subyek investigasi Departemen Kehakiman pada 1993 terkait kontroversi Whitewater, yang merupakan kesepakatan bisnis pada saat mereka di Arkansas.
Clinton juga terkena pengaduan pelecehan seksual oleh Paula Jones pada 1994.
Belakangan, hubungan Clinton dan seorang peserta magang bernama Monica Lewinsky, 21 tahun, menjadi sorotan. Keduanya mengaku tidak memiliki hubungan saat diminta bersumpah.
Kepada seorang bekas staf Gedung Putih, Lewinsky mengaku telah melakukan hubungan seksual dengan Clinton.
Saat itu, Clinton membantahnya lewat siaran televisi. “Saya ingin Anda mendengarkan saya. Saya tidak pernah berhubungan seksual dengan perempuan itu, Nona Lewinsky. Saya tidak pernah mengatakan kepada siapapun untuk berbohong, tidak sekalipun, tidak pernah.”
Namun, investigasi oleh independent counsel Kenneth Starr, yang ditunjuk oleh Departemen Kehakiman, menunjukkan Clinton telah berbohong kepada Kongres soal hubungannya dengan Lewinsky.
Dalam sidang di Senat selama lima pekan pada 1998, Clinton dinyatakan bebas dari tuduhan melanggar hukum.
- Richard Nixon
DPR AS menggelar proses pemakzulan terhadap Nixon terkait skandal Watergate, yang dinilai sebagai salah satu skandal politik terbesar AS.
Ini terkait upaya pencurian dokumen dan penyadapan terhadap kantor Komite Nasional Demokratik untuk kepentingan terpilihnya kembali Nixon sebagai Presiden AS. Pencurian terjadi pada 17 Juni 1972. Situs Historia menyebut Nixon mengambil langkah agresif untuk menutup-nutupi kejahatan ini.
Namun, kasus ini terungkap berkas kerja investigasi dari jurnalis Bob Woodward dan Carl Bernstein dari Washington Post. Mereka dibantu tokoh terkenal Deep Throat, yang merupakan salah satu pejabat keamanan dan memberikan informasi terbaru temuan dari petugas di lapangan. Sekitar tiga puluh tahun kemudian, nama sumber ini terungkap yaitu Mark Felt, yang merupakan salah satu pejabat teras FBI.
Nixon mengundurkan diri dari jabatan Presiden pada 9 Agustus 1974. Saat itu, Komite Yudisial DPR AS baru saja menyetujui draf awal untuk menyusun tuduhan resmi atas keterlibatan Nixon dalam tindakan curang pilpres itu.
- Andrew Johnson
Dia terpilih sebagai Wakil Presiden dari Abraham Lincoln pada 1864. Dia memimpin AS menggantikan Lincoln, yang tewas terbunuh setelah berkuasa 42 hari pada masa kedua pemerintahannya.
Johnson lalu bersitegang dengan politikus Partai Republik, yang merupakan pendukungnya sendiri.
Pada 1867, Kongres membalas tindakan Johnson yang akan memberhentikan Menteri Perang dari Partai Republik dengan mengeluarkan undang-undang Tenure of Office Act. UU ini melarang Presiden mengganti anggota kabinet tanpa persetujuan Senat.
Johnson malah melanjutkan pemberhentian Menteri Perang, yang membuat Partai Republik menyusun tuduhan resmi pelanggaran hukum dan konstitusi untuk memakzulkan Johnson.
Johnson terkena pemakzulan di DPR dengan voting 126 suara melawan 47 suara. Namun dia lolos dengan unggul satu suara saat pembahasan pemakzulan memasuki Senat. Belakangan, dia menjadi satu-satunya Presiden AS yang melanjutkan karir sebagai anggota Senat.