TEMPO.CO, Jakarta - Para uskup dan imam di Jerman membahas masalah tabu selama ini dalam Gereja Katolik, yakni menghapus kebijakan selibat atau imam harus lajang selama hidupnya, dan memberikan peran lebih besar bagi perempuan dalam kehidupan gereja.
Pembahasan dua topik tabu itu diselenggarakan oleh Konferensi Para Uskup Jerman dan Komite Pusat Katolik Jerman. Kedua lembaga ini akan memulai proses reformasi dua tahun pada hari Minggu, 1 Desember 2019, bertepatan dengan minggu pertama Adven.
Pertemuan untuk membahas dua topik tabu itu untuk menanggapi maraknya pelecehan seksual di gereja. Sebagai catatan, laporan pelecehen seksual yang mengagetkan Jerman diterbitkan tahun lalu menyebutkan ada 3,677 kasus pelecehan seksual dalam Gereja Katolik Jerman yang pelakunya para imam. Kasus ini terjadi dari tahun 1946 hingga 2014.
Sebagian besar korban berusia 13 tahun bahkan ada yang lebih muda usia. Mayoritas korban adalah anak laki-laki dan kebanyakan kasusnya sudah terjadi lama.
Satu dari setiap enam kasus pelecehan seksual yang terjadi adalah tindakan perkosaan.
Kasus pelecehan seksual anak-anak di Jerman melibatkan sedikitnya 1.670 imam.
Kasus pelecehan seksual anak-anak ini membuat kaget gereja di Jerman yang kemudian menyerukan ada tindakan konkrit.
Pada pertemuan musim semi lalu, mayoritas uskup Gereja Katolik jerman memberikan suaranya untuk memulai proses reformasi untuk memastikan kejahatan ini tidak terulang kembali.
Meski hasil pembahasan kedua lembaga itu, menurut laporan CNN, tidak akan mengubah doktrin Gereja Katolik, namun rencana memodernkan gereja di Jerman telah menuai kritik dari Paus Fransiskus dan sejumlah pejabat senior di Vatican.
Vatican menyampaikan keprihatinannya atas konferensi yang dapat mengarah pada fragmentasi pada gereja. Paus Fransiskus bahkan sampai melayangkan surat terbuka kepada masyarakat Jerman untuk mendesak mereka untuk menjaga keutuhan gereja.
Langkah Paus ini dianggap jarang sekali dilakukan. Paus pertama yang melayangkan surat khusus kepada masyarakat Jerman terjadi di masa Pius XI pada tahun 1937 yang isinya mengecam rezim Nazi.
Gereja Katolik Jerman berkukuh untuk tetap menjalankan acara itu dengan menegaskan keputusan apapun yang diambil dalam Majelis Sinode akan mengikat.
"Ide bahwa ini bukan hanya forum yang setiap orang hanya bicara tanpa keputusan diambil. Pada akhirnya akan ada pemungutan suara dan hasil pemungutan suara itu akan diserahkan ke Holy See, Paus Fansiskus untuk mengambil langkah lebih lanjut," kata Ulrich Lehner, profesor teologi di Universitas Notre Dame, seperti dilaporkan CNN, 1 Desember 2019.
Juru bicara Konferensi Waligereja Jerman, Matthias Kopp mengatakan kepada CNN bahwa perselisihan dengan Vatican sebagian besar disebabkan oleh kesalahpahaman.
"Tidak akan ada revolusi datang dari Jerman ke Roma," kata Kopp.
Jikapun Vatican menolak rekomendasi Gereja Katolik di Jerman, menurut Kopp, maka akan ada lebih banyak diskusi digelar.
Kopp menjelaskan, semakin banyak umat Katolik meninggalkan gereja di Jerman setiap tahun karena tidak lagi percaya pada gereja. Untuk itu perlu ada jawaban.
Lehner mengatakan, Gereja Katolik di Jerman menghadapi penurunan yang drastis. Seluruh sistem saat ini runtuh dan tidak mengetahui cara untuk mengatasinya.