TEMPO.CO, Jakarta - Perdana Menteri Irak Adil Abdul Mahdi mengumumkan dirinya akan mundur setelah dua bulan protes antipemerintah semakin memanas.
Pengumuman PM Mahdi disambut oleh massa. Orang-orang menyalakan kembang api di Lapangan Tahrir Baghdad, setelah protes anti-pemerintah yang dimulai pada 1 Oktober, yang menuntut dugaan korupsi pemerintah dan keterlibatan Iran dalam urusan dalam negeri Irak.
Dikutip dari CNN, 30 November 2019, Abdul Mahdi mengatakan dia akan mengajukan permintaan pengunduran diri ke parlemen.
Dia meminta pemerintah Irak "untuk bertindak demi kepentingan Irak, untuk melestarikan darah rakyatnya, dan untuk menghindari tergelincir ke dalam siklus kekerasan, kekacauan, dan kehancuran."
Abdul Mahdi mengatakan pengunduran dirinya sebagai tanggapan atas khotbah Jumat ulama Syiah Irak, Grand Ayatollah Ali al-Sistani, yang merujuk pada kegagalan masing-masing lembaga untuk menangani perkembangan selama dua bulan terakhir.
Abdul Mahdi awalnya setuju untuk mengundurkan diri pada 31 Oktober dengan syarat seorang setuju untuk menggantikannya.
Pasukan keamanan Irak bentrok dengan pengunjuk rasa di Baghdad pada hari Rabu, 27 November 2019.[Ivor Prickett untuk The New York Times
Pengumuman perdana menteri merupakan pukulan pahit bagi Iran, yang telah mendukung Mahdi dan setelah pendemo membakar konsulatnya di kota selatan Najaf. Bangunan Konsulat Iran rusak parah oleh bom api yang dilemparkan oleh pengunjuk rasa.
Menurut New York Times, Iran telah berulang kali berupaya untuk menopang Mahdi sejak ia menjadi perdana menteri pada 2018, menurut bocoran laporan intelijen Iran yang diperoleh The Intercept dan dibagikan kepada The New York Times. Mahdi bekerja erat dengan Iran ketika Saddam Hussein berkuasa, dan selama bertahun-tahun ia menjabat sebagai anggota partai besar Syiah yang terikat dengan Iran. Dia menjadi independen pada tahun 2017, tetapi kabel yang bocor menunjukkan dia menjaga hubungan dekat dengan Iran dalam beberapa tahun terakhir.
Keputusan Mahdi diumumkan sehari setelah setidaknya 40 pengunjuk rasa tewas dalam tindakan keras menyusul serangan terhadap Konsulat Iran yang memicu demonstrasi meluas di seluruh selatan Irak yang didominasi Syiah.
Total 354 orang telah terbunuh sejak protes antipemerintah dimulai pada awal Oktober dan lebih dari 8.000 orang terluka, kata Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB. Laporan terbarunya mencatat total aktual korban demonstrasi di Irak kemungkinan akan lebih tinggi.