TEMPO.CO, Jakarta - Li Ka-shing, 91 tahun, miliarder paling berpengaruh di Hong Kong, mengaku sering mendapat serangan verbal dan pesan tertulis dalam beberapa tahun terakhir.
Reuters.com pada Kamis, 28 November 2019, mewartakan Li telah menghadapi sejumlah serangan dari Cina daratan dan pasukan pro-Beijing di Hong Kong, termasuk saat unjuk rasa di Hong Kong terjadi.
Aksi protes di Hong Kong meletup pertama kali pada Juni 2019. Pada September 2019, Li menyerukan agar otoritas Hong Kong dan demonstran sama – sama menahan diri.
Li Ka-shing, salah satu orang terkaya di Hong Kong. Sumber: REUTERS/Bobby Yip/businessinsider.sg
Li dituduh oleh Komisi bidang hukum dari Partai Komunis Cina, sebagai orang yang menyembunyikan kriminalitas. Sedangkan Ketua serikat dagang pro-Beijing di Hong Kong dalam sebuah unggahan di Facebook menyebut Li sebagai raja kecoa.
“Dalam dunia media sosial ini, beberapa orang berusaha menabur keraguan beracun dan disinformasi untuk merusak kepercayaan. Sulit untuk tidak masuk dalam kontroversi di masa-masa sekarang ini,” kata Li.
Li dalam wawancara dengan Reuters mewartakan perilaku Beijing terhadapnya di bawah pemerintahan Presiden Xi Jinpin, semakin keras. Li selama bertahun-tahun dibujuk oleh para pemimpin Cina, namun Presiden Xi menunjukkan sikap berbeda, dimana Xi ingin Li membantu pemerintah pusat menjaga stabilitas Hong Kong.
Presiden Xi berharap Li sebagai orang terkaya juga semakin banyak melakukan kegiatan amal.
“Saya sudah mendirikan sebuah Yayasan amal pada 1980 dan memberikan bantuan untuk mendukung pendidikan, penelitian medis dan layanan kesehatan. Saya sudah mendermakan sepertiga dari kekayaan pribadi saya. Sekarang ini sekitar 80 persen proyek-proyek dari yayasan nirlaba saya dialokasikan ke area Cina. Total kontribusi yang sudah dikucurkan HKD 26 miliar (Rp 46 triliun),” kata Li.
Rentetan unjuk rasa di Hong Kong yang dipicu oleh RUU ekstradisi yang diajukan Pemimpin Hong Kong Carrie Lam, banyak yang berujung dengan tindak kekerasan. Sejumlah badan pengelola aset para miliarder mengatakan kondisi yang terjadi di Hong Kong telah membuat klien-klien mereka waswas. RUU ekstradisi sudah dicabut pada September 2019, namun unjuk rasa belum berhenti.