“Kami ingin kedamaian di bumi Afganistan, biar kami bisa berusaha lebih tenang, dan rakyat juga bisa mencari nafkah dengan wajar,”ujar Haji Muhammad Naeem Walizada, bekas komandan Mujahidin dan pengusaha yang terganggu setelah Taliban memerintah. Hal senada juga dikatakan Doktor Gulo Jan Wahdat Shinwari, bekas komandan mujahidin di wilayah Provinsi Nangarhar.
Menurut Gulo, pertemuan yang dipimpin Pir Syed AhmadGailani kali ini sangat penting untuk menyatukan berbagai kekuatan di Afganistan. “Kami harus mempersiapkan diri, karena Taliban akan jatuh tak akan lama lagi. Tapi yang lebih penting adalah masa depan Afghanistan,”katanya. Menurut Gulo Jan yang pengikut kelompok Hizb-I-Islami, kelompok-kelompok oposisi Taliban kini menyadari pentingnya persatuan untuk membangun kembali Afghanistan.
“Kami tak bisa mengandalkan kekuatan asing baik Amerika Serikat, Pakistan, India, Iran atau negara lain. Bangsa Afganistan sendirilah yang benar-benar memahami negerinya,”kata Gulo. Sedangkan, menurut Al-Haj Hayatullah, Ketua Dewan Unity Nation of Understanding the Afghanistan (CUNUA), penggagas pertemuan itu, yang bertemu bukan hanya kelompok oposisi Taliban, tetapi juga beberapa kelompok dalam Taliban.
“Kami mengundang Taliban secara resmi untuk duduk bersama membahas persoalan bangsa Afgan, tetapi mereka tak mengirim seseorang secara resmi. Namun ada hadir beberapa orang Taliban dari kelompok yang lebih moderat,”kata Hayatullah. Hadir dalam pertemuan itu berbagai kelompok yang dulu pernah bertikai setelah para Mujahidin berhasil merebut kekuasaan dari tangan penjajah Uni Sovyet.
Pertemuan berlangsung ditengah-tengah penjagaan ketat ratusan polisi yang berjaga-jaga di pintu gerbang masuk, bahkan dua gerbangnya diapit oleh dua panser. Tampak beberapa kali mobil patroli tentara dengan senjata mesin di kap mobilnya. Para wartawan yang ingin masuk ke areal halaman gedung itu tasnya harus diubek-ubek dan dirinya diperiksa ketat.
Para jurnalis asing yang berada di tempat itu, mengaku kebingungan mencari orang yang tepat untuk diwawancarai. Karena kebanyakan para tokoh Mujahidin itu hanya bisa berbicara dalam bahasa ibunya, Pasthoon, Urdu atau Persia. Sehingga ketika ada seorang wartawan mewawancarai seseorang yang bisa bahasa Inggris langsung diserbu bersama-sama. Pertemuan dilanjutkan Kamis ini (25/10). (Ahmad Taufik-Majalah Tempo)