TEMPO.CO, Hong Kong – Polisi Hong Kong memasuki kampus di Hong Kong, yang terlihat berantakan pasca pengepungan yang berlangsung nyaris dua pekan.
Kampus Hong Kong Polytechnic University menjadi pusat bentrokan antara petugas keamanan dan mahasiswa serta demonstran, yang membarikade diri di dalam kampus itu.
Ini terjadi setelah polisi dan demonstran bentrok pada 17 November 2019. Demonstran menggunakan panah dan bom molotov untuk menyerang polisi.
Sedangkan polisi menggunakan gas air mata, tongkat pemukul, semprotan merica dan kanon air untuk membubarkan barikade mahasiswa di kampus.
Pengepungan ini berakhir dengan ratusan mahasiswa serta demonstran berusaha keluar dari kampus dengan turun dari jembatan penyeberangan serta gorong-gorong. Sebagian tertangkap polisi dan dipukuli.
“Staf universitas mengatakan mereka hanya menemukan satu pemrotes di kampus dan jurnalis juga tidak melihat kehadiran signifikan demonstran di kampus dalam 48 jam terakhir,” begitu dilansir Channel News Asia pada Kamis, 28 November 2019.
Pada Rabu malam, seorang demonstran bertopeng berbicara kepada jurnalis yang meliput di dalam kampus Polytechnic ini. Menurut demonstran itu, masih ada sekitar 20 orang lainnya yang bersembunyi di dalam kampus.
Namun, tidak ada tanda keberadaan mereka saat polisi dan petugas pemadam kebakaran mulai memasuki kampus pada Kamis pagi atau 11 hari setelah dimulainya pengepungan kampus.
Petugas memasuki kampus untuk melakukan operasi mengamankan obyek berbahaya yang bertebaran di lingkungan kampus untuk mengumpulkan bukti-bukti.
Polisi huru-hara juga mulai mengumpulkan botol bom molotov yang bertebaran di dalam kampus. Ada juga botol berisi kimia, yang diduga diambil paksa dari dalam laboratorium kampus.
Tim penjinak bom juga menyisir ruangan demi ruangan diikuti rombongan jurnalis melewati dinding-dinding yang dipenuhi coretan berisi ejekan terhadap pasukan polisi dan tuntutan kebebasan lebih besar di bawah kekuasaan Cina.
Reuters melansir demonstrasi di Hong Kong dipicu rencana pengesahan legislasi ekstradisi, yang memungkinkan warga diekstradisi ke Cina jika dianggap melanggar hukum.
Meski RUU itu telah ditarik dari parlemen, mahasiswa dan masyarakat terus berunjuk rasa menuntut penerapan sistem demokrasi secara penuh agar mereka bisa memilih sendiri pejabat pemerintah. Kepala Otoritas Hong Kong saat ini merupakan pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah Cina.