TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah studi menemukan fakta bahwa tarif impor Cina yang diberlakukan Donald Trump dibayar oleh warga Amerika Serikat dan bukan Cina seperti yang diklaim pejabat AS.
Ketika pemerintahan Trump memberlakukan tarif pada impor Cina tahun lalu, para pejabat bersikeras Cina akan membayar biaya, menyiratkan perusahaan-perusahaan Cina harus memotong harga mereka untuk menyerap tarif impor hingga 25% ketika barang-barang mereka tiba di AS.
Sebagai gantinya, harga yang dibebankan perusahaan Cina hampir tidak bergerak, yang berarti perusahaan dan konsumen AS membayar biaya tarif, diperkirakan sekitar US$ 40 miliar atau Rp 564 triliun per tahun, menurut studi para peneliti New York Fed Reserve Bank yang dirilis pada hari Senin, seperti dikutip dari Reuters, 26 November 2019.
Sebagai akibat dari perang dagang AS-Cina, Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS menambah sebanyak 25% pada harga impor saat barang-barang Cina masuk ke AS. Jika perusahaan Cina menyerap biaya itu, mereka harus memotong harga mereka sebanyak 20%, batas harga yang memungkinkan pengecer, produsen, atau pedagang besar AS menjaga harga dan keuntungan mereka tetap stabil.
Namun faktanya bukan itu yang terjadi.
Data impor dari Juni 2018 hingga September 2019 menunjukkan harga impor Cina turun hanya 2%, menurut studi Fed, sejalan dengan penurunan harga terlihat di banyak negara lain karena perdagangan global melambat.
"Berlanjutnya stabilitas harga impor untuk barang-barang dari Cina berarti perusahaan dan konsumen AS harus membayar tarif impor," tulis tim peneliti Fed.
Para peneliti tidak memperkirakan bagaimana biaya itu dibagi antara laba yang lebih rendah untuk perusahaan AS atau harga konsumen yang lebih tinggi.
Namun penelitian tersebut menemukan bahwa Cina merasakan dampak kenaikan tarif.
Pendapatan Cina dari impor mesin dan peralatan listrik AS telah turun sekitar 2 poin persentase sejak 2017, dan pendapatan dari impor elektronik AS telah turun sebesar 6 poin persentase.
"Pangsa pasar itu sebagian besar telah pergi ke Eropa dan Jepang untuk permesinan dan ke Malaysia, Korea Selatan, Taiwan, dan Vietnam untuk peralatan elektronik dan listrik," menurut studi.
Penelitian ini tidak membahas berapa banyak pangsa pasar yang mungkin diperoleh oleh pemasok AS, atau apakah negara lain mengenakan harga yang lebih tinggi daripada perusahaan Cina.
Fakta bahwa harga dolar barang-barang Cina belum turun juga berarti bahwa penurunan sekitar 10% dalam nilai mata uang Cina sejak tarif pertama diberlakukan, belum digunakan oleh para pengekspornya untuk mempertahankan keunggulan kompetitif, seperti yang dikatakan oleh beberapa pejabat AS.
Sebagai gantinya, penurunan mata uang berfungsi untuk menghasilkan keuntungan pada setiap unit penjualan untuk eksportir Cina, menurut kesimpulan tim peneliti.