TEMPO.CO, Jakarta - Unjuk rasa di Ibu Kota Bogota, Kolombia pada Jumat malam, 22 November 2019 memakan korban jiwa. Tiga aparat kepolisian terbunuh dalam sebuah ledakan bom tak lama setelah ribuan demonstran berunjuk rasa mengekspresikan ketidak puasan terhadap pemerintahan Presiden Ivan Duque.
Dikutip dari reuters.com, sumber di Kepolisian Bogota mengatakan selain korban tewas, sebanyak 10 aparat kepolisian juga terluka dalam ledakan bom itu. Lokasi ledakan persisnya di Kota Santander de Quilichao di wilayah selatan Provinis Cauca, Kolombia, atau yang dikenal sebagai tempat perdagangan narkoba dan kekerasan.
Sumber di Kepolisian Bogota itu tidak menjelaskan detail kelompok mana yang diduga meledakkan bom tersebut hingga menewaskan dan melukai aparat kepolisian. Rencananya, Kepolisan Bogota akan menggelar acara konferensi pers pada Sabtu pagi, 23 November 2019 waktu setempat.
Lebih dari 250 ribu orang unjuk rasa di sejumlah titik di Kolombia mengekspresikan ketidak puasan terhadap pemerintahan Presiden Ivan Duque. Sumber: Reuters
Unjuk rasa di Bogota terjadi pertama kali pada Kamis, 21 November 2019 yang diikuti oleh sekitar 250 ribu orang. Mereka turun ke jalan untuk mengekpresikan kemarahan pada pemerintah Presiden Duque. Mereka yang berunjuk rasa menyoroti kurangnya tindakan dari pemerintah untuk menghentikan korupsi dan dugaan pembunuhan terhadap aktivis HAM.
Pada Jumat sore, 22 November 2019, unjuk rasa kembali terjadi di Bolivar Plaza, Ibu Kota Bogota, Kolombia. Dalam unjuk rasa itu, para demonstran membawa panci dan penggorengan untuk mengekspresikan kemarahan mereka pada pemerintah.
“Kami di sini untuk memprotes pemerintahan Duque,” kata Katheryn Martinez, 25 tahun, mahasiswa jurusan seni, yang berunjuk rasa dengan ayahnya Arturo, 55 tahun.
Martinez mengatakan pemerintah Kolombia saat ini dinilainya tidak efisien. Komentar itu mengacu pada pengeboman yang menargetkan pemberontak, namun meleset sehingga menewaskan delapan remaja. Peristiwa ini mendorong Menteri Pertahanan Kolombia mengundurkan diri.
Unjuk rasa di Kolombia diikuti oleh sejumlah keluarga dan manula. Aparat kepolisian menembakkan gas air mata untuk membubarkan demonstran. Gas air mata itu membuat para demonstran bersembunyi ke gang-gang.