TEMPO.CO, Jakarta - Satu periode pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump tak terasa tinggal setahun lagi. Trump dilantik menjadi orang nomor satu di Amerika Serikat pada 20 Januari 2017 dan masyarakat akan melakukan pemilu presiden pada 3 November 2020.
Menurut Suzie Sudarman, Ketua Indonesian Institute of Advanced International Studies (INADIS) yang juga pengajar di Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Trump memiliki kebijakan yang ambivalen. Artinya, sulit ditebak akan kemana arahnya.
“Trump adalah seorang pebisnis. Dia tidak punya alat untuk memperbaiki sistem,” kata Suzie dalam sebuah wawancara dengan Tempo pekan terakhir Oktober 2019.
Suzie menilai sekarang ini yang menjadi andalan Trump sebagai pemasukan negara adalah penjualan senjata. Amerika Serikat diantaranya menjual jet tempur F-35 hingga miliaran dollar. Sayangnya, untuk menjual senjata harus ada peperangan.
“Trump awalnya menolak perang, tetapi dia sekarang dihadapkan pada pilihan untuk menjual senjata,” kata Suzie.
Penghasilan Amerika Serikat lainnya selain dari menjual senjata, yakni sebanyak tiga per empat berasal dari penjualan kacang kedelai dan gandum, yang mayoritas dibeli oleh Cina. Sektor ini boleh dibilang terpukul setelah terjadinya perang dagangan Cina – Amerika Serikat.
Sektor industri Amerika Serikat nyaris mati karena biaya buruhnya terlalu tinggi. Sektor teknologi, film dan busana, untungnya masih digemari.
“Sebagian warga Amerika Serikat masih rasis terhadap ras kulit kuning dan Presiden Trump seperti ingin menistakan Cina. Produk Cina dianggap barang murahan,” kata Suzie.
Sedangkan dengan Arab Saudi, Suzie menyebut produk-produk Arab Saudi nyaris tidak ada yang dibeli Amerika Serikat. Dengan Arab Saudi dan negara-negara Arab lainnya, Presiden Trump tampak hanya ingin menjaga harga minyak di kisaran US$ 54 per barrel.
Data Kementerian Keuangan Amerika Serikat menyebut defisit Amerika Serikat pada 2019 hampir menyentuh US$ 1 triliun atau tertinggi sejak 2012. Suzie menilai, Amerika Serikat di bawah pemerintahan Trump tidak lebih baik secara ekonomi. Kestabilan Negara Abang Sam yang dulu dijaga mantan Presiden Barack Obama agar orang-orang masih percaya untuk menyimpan uang di Amerika Serikat, sayangnya dikacaukan oleh Trump.
Suzie pun menilai tidak ada isu di Amerika Serikat yang berdampak ke Indonesia. Sebab negara itu masih peduli pada diri sendiri. Hubungan ekonomi Amerika Serikat – Indonesia pun tidak pernah tinggi.
“Kita ini dianggap misterius. Mereka (Amerika Serikat) ingin kita patuh dan jangan sampai diambil negara lain. Makanya, Papua jangan sampai bergejolak, nanti Amerika Serikat bisa masuk,” ujarnya.
Hubungan Indonesia – Amerika Serikat akan terganggu ketika Washington menerbitkan travel warning atau peringatan bepergian. Sebab hal ini mengganggu turis Amerika yang ingin datang ke Indonesia.