TEMPO.CO, Jakarta - Iran pada Rabu, 6 November 2019, menahan sebentar seorang pengawas dari badan pemantau nuklir PBB atau IAEA dan menyita dokumen perjalanannya. Diplomat yang akrab dengan tugas-tugas IAEA menggambarkan kejadian ini sebagai sebuah pelecehan.
Dikutip dari reuters.com, insiden semacam ini tampaknya yang pertama kali terjadi sejak Tehran mengunci kesepakatan dengan negara-negara kekuatan dunia pada 2015. Dalam kesepakatan itu, sanksi-sanksi terhadap Iran akan dilonggarkan asalkan negara itu menghentikan segala aktivitas nuklirnya. Nuklir Iran ditakuti karena diduga untuk membuat senjata nuklir.
Perjanjian nuklir Iran melibatkan Inggris, Prancis, Jerman, Rusia dan Cina setelah Amerika Serikat menyatakan diri keluar dari perjanjian itu pada 2018. Ecfr.eu
Penahanan pengawas IAEA juga terjadi di tengah ketegangan antara Iran dan negara-negara Barat setelah Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump keluar dari kesepakatan yang dikunci pada 2015 lalu dan menjatuhkan sanksi-sanksi bar uke Iran.
Insiden penahanan ini bakal dibahas dalam sebuah pertemuan Dewan Gubernur IAEA pada Kamis, 7 November 2019. Dalam kesepakatan nuklir Iran 2015 disebutkan sekitar 130 – 150 pengawas IAEA ditunjuk bekerja untuk Iran.
“IAEA ingin memperlihatkan betapa seriusnya mereka menangani masalah yang muncul ini. Ini benar-benar preseden yang amat melukai,” kata seorang sumber.
Tiga diplomat yang akrab dengan tugas-tugas IAEA mengatakan pengawas IAEA yang ditahan adalah seorang perempuan dan dokumen perjalanannya diambil. Pengawas itu ditahan hanya sebentar oleh Iran. Juru bicara IAEA dan Duta Besar Iran untuk IAEA menolak berkomentar mengenai hal ini.