TEMPO.CO, Jakarta - Iran dilaporkan ingin mencegah pemecatan Perdana Menteri Irak Adel Abdul Mahdi oleh dua tokoh paling berpengaruh di Irak selama berminggu-minggu demonstrasi anti-pemerintah.
Pada pekan ini Ulama Syiah populis Moqtada al-Sadr menuntut PM Abdul Mahdi agar menggelar pemilihan dini untuk memadamkan protes massa terbesar di Irak sejak invasi pimpinan AS yang menggulingkan Saddam Hussein pada 2003. Demonstrasi dipicu oleh kemarahan terhadap korupsi dan kesulitan ekonomi.
Sadr mendesak saingan politik utamanya Hadi al-Amiri, yang beraliansi dengan milisi yang didukung Iran sebagai kekuatan politik terbesar kedua di parlemen, untuk membantu mendorong Abdul Mahdi.
Tetapi dalam pertemuan rahasia di Baghdad pada hari Rabu, Qassem Soleimani, kepala Pasukan elit Garda Revolusi Iran Quds, turun tangan. Soleimani meminta Amiri dan para pemimpin milisinya untuk terus mendukung Abdul Mahdi, menurut lima sumber yang mengetahui pertemuan itu, seperti dilaporkan Reuters, 1 November 2019.
Perdana Menteri Irak Adel Abdul Mahdi memberikan pidato di televisi di Baghdad, Irak 9 Oktober 2019. [Kantor Perdana Menteri Irak/REUTERS]
Juru bicara untuk Amiri dan Sadr tidak dapat dihubungi untuk memberikan komentar. Seorang pejabat keamanan Iran mengkonfirmasi Soleimani berada di pertemuan hari Rabu, mengatakan dia ada di sana untuk memberikan nasihat.
"Keamanan (Irak) penting bagi kami dan kami telah membantu mereka di masa lalu. Kepala Pasukan Quds kami melakukan perjalanan ke Irak dan negara-negara regional lainnya secara teratur, terutama ketika sekutu kami meminta bantuan kami," kata pejabat Iran, yang meminta tidak disebutkan namanya.
Soleimani, pemimpin pasukan Quds yang mengkoordinasi milisi yang didukung Teheran di Irak, Suriah, dan Lebanon, sering berkunjung ke Irak. Namun, intervensi langsungnya adalah tanda terbaru dari meningkatnya pengaruh Iran di Irak dan di seluruh wilayah.
Pejabat keamanan Irak mengatakan awal bulan ini bahwa milisi yang didukung Iran mengerahkan penembak jitu di atap rumah Baghdad untuk mencoba membantu meredam protes.
Jika Irak jatuh lebih jauh ke dalam krisis, Iran berisiko kehilangan pengaruhnya yang terus menumpuk di Irak sejak invasi yang dipimpin AS.
Sementara CNN melaporkan, Presiden Irak Barham Salih pada Kamis mengumumkan di televisi bahwa PM Mahdi setuju untuk mundur dengan syarat penerusnya bersedia menggantikannya.
"Perdana menteri telah setuju untuk mengundurkan diri," kata Salih, menambahkan bahwa Abdul Mahdi telah meminta blok politik untuk mencapai alternatif yang dapat diterima untuk mencegah kekosongan pemerintahan.
Protes, yang telah mengguncang Irak selama sebulan terakhir, dipicu oleh keluhan tentang pengangguran, korupsi pemerintah, dan kurangnya layanan dasar seperti listrik dan air bersih.
Pihak berwenang berusaha menertibkan demonstran dengan menggunakan kekuatan mematikan, juga memberlakukan jam malam dan pemadaman internet. Pemerintah mengatakan hanya menembak ketika diserang, tetapi pendemo membantahnya.
200 lebih pendemo telah terbunuh, dan ribuan lainnya terluka, sejak demonstrasi di Irak dimulai awal bulan ini.