TEMPO.CO, Jakarta - Perdana Menteri Irak Adil Abdul Mahdi setuju untuk mundur setelah berminggu-minggu demonstrasi anti-pemerintah.
Hal ini disampaikan Presiden Irak Barham Salih pada Kamis yang disiarkan di televisi, menurut laporan CNN, 1 November 2019. Presiden Salih menyampaikan PM Mahdi setuju untuk mundur dengan syarat penerusnya bersedia menggantikannya.
"Perdana menteri telah setuju untuk mengundurkan diri," kata Salih, menambahkan bahwa Abdul Mahdi telah meminta blok politik untuk mencapai alternatif yang dapat diterima untuk mencegah kekosongan pemerintahan.
Salah satu ulama terkemuka Syiah Irak dan politisi ternama, Muqtada al-Sadr, telah meminta pihak lain pada Selasa untuk mendukung mosi tidak percaya terhadap Abdul Mahdi.
Sementara Reuters melaporkan, Iran ingin mencegah pemecatan Perdana Menteri Irak Abdel Abdul Mahdi oleh dua tokoh paling berpengaruh di Irak selama berminggu-minggu demonstrasi anti-pemerintah, menurut sumber yang dekat dengan kedua pria itu.
Ulama Syiah populis Moqtada al-Sadr telah menyerukan pemilihan dini untuk memadamkan protes massa terbesar di Irak sejak invasi pimpinan AS yang menggulingkan Saddam Hussein pada 2003.
Sadr mendesak saingan politik utamanya Hadi al-Amiri, yang beraliansi dengan milisi yang didukung Iran dan menjadikannya memiliki kekuatan politik terbesar kedua di parlemen, untuk membantu menggulingkan Abdul Mahdi.
Tetapi dalam pertemuan rahasia di Baghdad pada hari Rabu, Qassem Soleimani, kepala Pasukan elit Garda Revolusi Iran Quds, turun tangan. Soleimani meminta Amiri dan para pemimpin milisinya untuk terus mendukung Abdul Mahdi, menurut lima sumber yang mengetahui pertemuan itu.
Juru bicara untuk Amiri dan Sadr tidak dapat dihubungi untuk memberikan komentar. Seorang pejabat keamanan Iran mengkonfirmasi Soleimani berada di pertemuan hari Rabu, mengatakan dia ada di sana untuk memberikan nasihat.
Pasukan keamanan menembakkan gas air mata untuk membubarkan demonstran anti-pemerintah di Baghdad, Irak, 26 Oktober 2019.[CNN]
Protes, yang telah mengguncang Irak selama sebulan terakhir, dipicu oleh keluhan tentang pengangguran, korupsi pemerintah, dan kurangnya layanan dasar seperti listrik dan air bersih.
Banyak warga Irak menyalahkan partai-partai politik saat ini berkuasa atas kesulitan ekonomi mereka dan skala protes kali ini diyakini sebagai yang terbesar sejak jatuhnya Saddam Hussein pada 2003.
Para pejabat telah berusaha menertibkan demonstran dengan menggunakan kekuatan mematikan, juga memberlakukan jam malam dan pemadaman internet. Pemerintah mengatakan hanya menembak ketika diserang, tetapi pendemo membantahnya.
200 lebih pendemo telah terbunuh, dan ribuan lainnya terluka, sejak demonstrasi di Irak dimulai awal bulan ini.