TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi wartawan Hong Kong mengungkapkan kekerasan terhadap jurnalis saat meliput unjuk rasa di wilayah itu, meningkat. Jumlah reporter yang terluka meningkat menyusul upaya aparat kepolisian dalam menghadapi kerusuhan di Hong Kong.
Pada Minggu, 27 Oktober 2019, terjadi konfrontasi antara aparat keamanan dan sejumlah awak media. Kejadian ini terjadi ketika seorang video jurnalis terkena pukulan aparat. Kepolisian Hong Kong pada Senin, 28 Oktober 2019, menggelar acara jumpa wartawan setelah sejumlah reporter berusaha melakukan protes.
“Kami akan mengadopsi pendekatan yang lebih pro-aktif, namun saat yang sama terus memberantas vandalisme dan segala bentuk tindakan ilegal. Kami harap cara ini lebih efektif dalam menciptakan situasi yang lebih baik di masa depan,” kata Wong Wai-shun, Kepala Kepolisian Hong Kong.
Menurut Wong, saat ini sudah diberlakukan pembatasan penggunaan sejumlah senjata.
“Ketika kami melepaskan tembakan air, kami tidak bisa menjamin 100 persen kalau semburan air itu hanya diarahkan pada satu orang" ujarnya, seperti dikutip dari scmp.com.
Protes yang dilakukan para kuli tinta menyusul naiknya angka kekerasan terhadap jurnalis saat meliput unjuk rasa Hong Kong, ditanggapi pula oleh Dennis Kwok, subkomite Dewan Legislatif Hong Kong bidang hukum. Kwok mempertanyakan apakah wartawan masuk dalam daftar pengecualian terkait larangan menggunakan penutup wajah pada para pengunjuk rasa.
Sedangkan Wakil Biro Keamanan Hong Kong Sonny Au Chi-kwong mengatakan aparat keamanan memiliki hak untuk menghentikan siapapun dan melakukan pemeriksaan pada siapa saja. Au pun melihat masih ada ruang untuk memperbaiki diri antara wartawan dan aparat kepolisian di garda depan.
Gary Fan Kwok-wai, politikus dari Pan-demokrat, berpandangan polisi mengintimidasi wartawan.
“Aparat kepolisian sekarang melihat para wartawan di garda depan sebagai musuh mereka. Mereka mengintimidasi reporter, dimana ini sebuah ledakan bagi Hong Kong,” kata Kwok-kai.
Sumber: