TEMPO.CO, Jakarta - Tubuh seorang pria di North Carolina, AS, yang ditahan karena dicurigai mengemudi dalam keadaan mabuk, ternyata memproduksi alkohol.
Pria berusia sekitar 40-an yang tidak diketahui identitasnya ini menolak untuk melakukan tes breathalyzer, untuk mengukur kadar alkohol dalam darah. Pria tersebut mengaku tidak minum alkohol dan bahwa tubuhnya yang menghasilkan alkohol. Akhirnya dia dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa. Namun setelah diperiksa, ditemukan kadar alkohol dalam darah sebesar 0,2 persen yang setara dengan mengkonsumsi sepuluh minuman per jam yang membuat pihak dokter tidak percaya dengan alibinya.
Kasus ini bisa dijelaskan secara ilmiah. Sebuah penelitian di Pusat Medis Universitas Richmond, New York, berdasarkan laporan penelitian BMJ Open Gastroenterology mendiagnosis pria tersebut mengidap auto brewery syndrome (ABS) atau sindrom fermentasi usus karena adanya ragi dalam usus yang mengubah karbohidrat dalam makanan yang dimakan menjadi alkohol.
"Pasien-pasien ini memiliki implikasi alkoholisme yang sama persis: bau, napas, kantuk, perubahan gaya berjalan," kata Fahad Malik, penulis studi dan kepala kedokteran internal di University of Alabama, Birmingham, seperti dikutip dari CNN, 28 Oktober 2019.
Tiga tahun sebelum ditahan, ia diketahui menggunakan antibiotik untuk mengobati cedera ibu jari dan ia mengalami depresi "kabut otak", kondisi kehilangan ingatan dan perilaku agresif yang tidak sesuai dengan kepribadiannya.
Hasil tes menemukan adanya ragi Saccharomyces Cerevisia yang ada dalam pembuatan bir dan anggur serta satu jamur lainnya dalam saluran pencernaannya. Ia harus menjalani diet bebas karbohidrat dengan bantuan beberapa suplemen khusus. Beberapa minggu pasca diet, gejala mulai kembali dan tidak ada penanganan yang berhasil.
Berdasarkan catatan peneliti, kadar alkohol dalam darahnya berkisar antara 50 hingga 400 mg/dL dan para staf medis menolak untuk percaya tidak adanyan tindakan mengkonsumsi alkohol. Pria ini kemudian menghubungi para peneliti di Pusat Medis Universitas Richmond, di mana dikatakan bahwa antibiotik yang digunakan tiga tahun lalu mengubah microbiome ususnya dan membiarkan jamur tumbuh di dalam saluran pencernaan.
Para peneliti kemudian menggunakan terapi antijamur dan probiotik untuk menormalkan kembali bakteri di ususnya agar tidak memproduksi alkohol.
KANIA SUKU | CNN