TEMPO.CO, Jakarta - Unjuk rasa di Chile pada Rabu, 23 Oktober 2019, memasuki aksi yang keempat kalinya. Pelajar dan anggota serikat buruh turun ke jalanan memprotes tingginya kesenjangan sosial di negara itu.
Presiden Chile, Sebastian Pinera, berjanji akan melakukan reformasi demi menghentikan demonstrasi yang sering berakhir ricuh. Unjuk rasa di Chile pertama kali meletup pada 6 Oktober 2019.
Dikutip dari reuters.com, Kamis, 24 Oktober 2019, pada Rabu sore sampai malam pelajar dan PNS memenuhi kota-kota di penjuru Chile. Ikut pula berunjuk rasa petugas profesional bidang kesehatan dan para guru.
Mereka membawa spanduk berisi protes pada pemerintah. Ibu kota Santiago penuh dengan massa. Untungnya unjuk rasa pada Rabu itu berjalan damai dengan dipantau oleh kepolisian dan tentara Chile.
Otoritas Chile memberlakukan jam malam yang berlaku mulai pukul 22.00 untuk ibu kota Santiago yang benar-benar diawasi oleh militer negara itu. Gas air mata digunakan untuk membubarkan para pengunjuk rasa yang bertahan di alun-alun dan beberapa jalan di pusat kota.
Dalam empat hari unjuk rasa Chile, lebih dari enam ribu orang ditahan dan setidaknya 18 orang meninggal. Serikat buruh dan kelompok-kelompok sosial menuntut agar mereka diberikan pendapat dalam rencana sosial yang diumumkan oleh Presiden Pinera pada Selasa, 22 Oktober 2019.
"Kita harus membawa suara mereka yang berunjuk rasa dan ketidak puasan atas kesenjangan di negara kita," kata José Pérez Debelli, Presiden National Grouping of Fiscal Employees (ANEF), salah satu serikat yang menyerukan mogok kerja.
Federasi Pekerja Tambang Chile atau FTC, ikut menyerukan aksi mogok kerja. Mereka berusaha menutup tambang Andina dan secara drastis mengurangi operasinya di pabrik peleburan Ventanas.
Jimena Blanco, Kepala bidang peneliti Amerika Latin dari Verisk Maplecroft, sebuah perusahaan konsultan, mengatakan ini hanya soal waktu sebelum aksi yang dilakukan FTC berdampak negatif pada industri pertambangan Chile.