TEMPO.CO, Jakarta - Ratusan truk militer yang mengangkut pasukan AS yang mundur dari Suriah menuju Irak, dilempari oleh tomat dan kentang oleh warga Kurdi.
Personel AS, yang memerangi kelompok teror bersama dengan Pasukan Demokratik Suriah yang dipimpin Kurdi, sebagian besar akan ditempatkan kembali di Irak barat, kata Menteri Pertahanan AS Mark Esper.
Sementara beberapa pasukan AS akan tetap sementara di Suriah untuk melindungi ladang minyak dari ISIS. Ini merupakan langkah nyata dari pernyataan Presiden Donald Trump pekan lalu bahwa ia akan membawa semua pasukan Amerika yang ditempatkan di Suriah "kembali ke tanah air", seperti dikutip dari CNN, 22 Oktober 2019.
Pada Senin, Esper mengatakan telah ada diskusi tentang menjaga pasukan AS di Suriah utara lebih lama tetapi belum ada rencana militer yang disampaikan kepada Presiden Trump.
Sementara 100 lebih kendaraan militer Amerika Serikat meninggalkan wilayah Kurdi Suriah pada Senin pagi, menurut laporan New York Times.
Warga melemparkan batu dan kentang ke konvoi saat melaju melalui Qamishli, sebuah kota besar di wilayah yang dikuasai Kurdi. Dalam video yang diunggah secara online oleh outlet berita Kurdi setempat, ANHA Hawar, orang-orang yang melemparkan kentang ke kendaraan lapis baja berteriak "No America" dan "America pembohong," dalam bahasa Inggris.
"Orang Amerika melarikan diri seperti tikus," seorang pria terdengar berteriak dalam video.
#Kurds throw potatoes at #UStroops withdrawing from #Syria
Credits: ANHA HAWAR NEWS
STORY: https://t.co/rZYk2V917R pic.twitter.com/hOOpbU02S8
— RT (@RT_com) October 21, 2019
Penarikan pasukan Amerika oleh Presiden Trump dari wilayah tersebut, yang membuka jalan bagi Turki untuk menyerang pasukan Kurdi, telah mendorong Partai Republik dan Demokrat AS menuduhnya telah meninggalkan sekutu Amerika Serikat. Koalisi milisi Kurdi Suriah, Amerika dan pasukan asing lainnya telah berperang melawan ISIS di Suriah timur laut sejak 2014.
Penarikan itu telah secara drastis mengurangi pengaruh Amerika di Suriah, menyerahkan lebih banyak kontrol dan pengaruh kepada pemerintah Suriah, Rusia dan Iran. Penarikan juga menimbulkan kekhawatiran akan kebangkitan kembali ISIS, kelompok ekstrimis yang pernah menguasai suatu wilayah di Irak dan Suriah sebesar Inggris.
Beberapa Kurdi Suriah melihat penarikan itu sebagai pengkhianatan, karena telah memungkinkan pasukan pimpinan Turki untuk menginvasi daerah itu dan berpotensi memaksa Kurdi dari tanah leluhur mereka.
"Akan ada pembersihan etnis orang-orang Kurdi dari Suriah, dan pemerintah Amerika akan bertanggung jawab untuk itu," kata Mazlum Kobani, yang pasukan pimpinan Kurdi melawan ISIS di Suriah, mengatakan pada Ahad.
Pejabat Turki mengatakan kampanye mereka hanya menargetkan milisi Kobani, bukan Kurdi Suriah pada umumnya. Lebih dari 200 warga sipil Suriah telah tewas sejak invasi dimulai, sementara setidaknya 20 tewas dalam serangan balasan Kurdi di Turki selatan. Lebih dari 170.000 orang telah mengungsi, menurut perkiraan Komite Palang Merah Internasional.
Hingga bulan ini, Suriah timur laut sebagian besar berada di bawah kendali Pasukan Demokratik Suriah, milisi yang dipimpin Kurdi yang telah menggunakan kekacauan perang saudara delapan tahun untuk membangun wilayah otonom, yang beroperasi secara independen dari kedua pemerintah pusat di Damaskus dan milisi pemberontak Arab Suriah.
Kampanye yang dipimpin Amerika melawan ISIS memungkinkan pasukan Kurdi untuk memperluas wilayahnya dan mengambil alih pemerintahan tanah yang diambil dari para ekstremis.
Tetapi kantong wilayah yang diduduki Kurdi dan didukung AS sepanjang perbatasan Turki-Suriah menjadi sumber kecemasan besar bagi pemerintah Turki, yang menganggap milisi Kurdi sebagai ancaman bagi keamanan nasional.