TEMPO.CO, Jakarta - Perdana Menteri Boris Johnson dipaksa Parlemen Inggris untuk meminta perpanjangan waktu Brexit ke Uni Eropa, setelah proposalnya dimentahkan House of Commons.
Dalam sebuah perdebatan politik yang intens di London, anggota parlemen memilih untuk menunda ratifikasi kesepakatan sampai Parlemen telah melewati serangkaian undang-undang kompleks yang diperlukan untuk memberlakukannya.
Boris Johnson telah mengirimkan fotokopi surat mandat resmi yang tidak ditandatangani melalui email kepada Presiden Dewan Uni Eropa, Donald Tusk. Mandat disertai dengan surat pengantar dari seorang pegawai negeri senior yang menjelaskan bahwa surat itu dikirim untuk memenuhi hukum yang disahkan oleh Parlemen bulan lalu, yang dirancang untuk mencegah Brexit tanpa kesepakatan, menurut laporan CNN, 20 Oktober 2019.
Surat ketiga dikirim kepada para pemimpin UE, di mana Johnson menjelaskan mengapa penundaan itu merupakan ide yang buruk. "Itu akan sangat korosif, tulisnya dalam surat itu, menurut sumber pemerintah Inggris.
Pemimpin Partai Buruh, Jeremy Corbyn, mengecam Johnson dari seberang lantai House of Commons. "Perdana Menteri sekarang harus mematuhi hukum," katanya. "Dia tidak bisa lagi menggunakan ancaman tidak adanya kesepakatan untuk memeras anggota parlemen untuk mendukung kesepakatannya."
Ketika para anggota parlemen berdebat di Parlemen, ribuan pengunjuk rasa berbaris melalui pusat kota London untuk menuntut referendum Brexit kedua.
Menurut laporan Reuters, di bawah undang-undang "Benn Act", yang disahkan oleh anggota parlemen bulan lalu, Johnson harus meminta perpanjangan tenggat waktu Brexit dari 31 Oktober hingga akhir Januari jika ia gagal mendapatkan dukungan anggota parlemen untuk kesepakatan Brexit pada hari Sabtu, atau dukungan mereka untuk bercerai tanpa kesepakatan.
Alih-alih memberikan suara pada kesepakatan perceraiannya, anggota parlemen memilih untuk mendukung amendemen yang menunda keputusan akhir sampai undang-undang ratifikasi formal telah disahkan.
Sumber itu mengatakan dokumen ketiga juga dikirim ke Brussels, ditandatangani oleh utusan top Inggris untuk Uni Eropa.
Parlemen Inggris telah mengesahkan Uni Eropa (Penarikan) (No. 2) Undang-Undang 2019. Ketentuan-ketentuannya sekarang mengharuskan Pemerintah Yang Mulia untuk mencari perpanjangan periode yang diatur dalam Pasal 50 (3) Perjanjian tentang Uni Eropa, termasuk sebagaimana diterapkan oleh Pasal 106a dari Perjanjian Euratom, saat ini akan berakhir pada pukul 11 malam GMT pada 31 Oktober 2019, hingga 11 malam GMT pada 31 Januari 2020.
Oleh karena itu saya menulis untuk memberi tahu Dewan Eropa bahwa Inggris sedang mencari perpanjangan lebih lanjut untuk periode yang disediakan berdasarkan Pasal 50 (3) Perjanjian tentang Uni Eropa, termasuk sebagaimana diterapkan oleh Pasal 106a dari Perjanjian Euratom. Britania Raya mengusulkan bahwa periode ini harus berakhir pada pukul 11 malam GMT pada tanggal 31 Januari 2020. Jika para pihak dapat meratifikasi sebelum tanggal ini, Pemerintah mengusulkan bahwa periode tersebut harus diakhiri lebih awal.
Donald Tusk mengatakan dia telah menerima surat dan akan berkonsultasi dengan para pemimpin Uni Eropa lainnya pada langkah selanjutnya.
"Saya tidak akan menegosiasikan penundaan dengan Uni Eropa, dan hukum juga tidak memaksa saya untuk melakukannya," Johnson mengatakan kepada anggota parlemen sebelumnya. "Penundaan lebih lanjut akan berdampak buruk bagi negara ini."
Seorang pejabat Uni Eropa mengatakan permintaan perpanjangan tidak ditandatangani oleh Boris Johnson. Surat Boris Johnson datang dengan surat pengantar dari duta besar Inggris untuk Uni Eropa Sir Tim Barrow, yang menjelaskan bahwa pemerintah berkewajiban untuk meminta perpanjangan Brexit berdasarkan hukum Inggris.