TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Wakil Presiden AS Mike Pence sepakat untuk gencatan senjata lima hari di Suriah. Keduanya juga sepakat menerima kehadiran militer Turki di Suriah utara.
Menurut laporan New York Times, 18 Oktober 2019, kesepakatan ini terjadi setelah hampir lima jam perundingan di Ankara, Turki. Pence memuji perjanjian itu sebagai kemenangan diplomatik bagi Presiden Trump, menyebutnya sebagai solusi yang akan menyelamatkan banyak nyawa.
"Perjanjian itu mengakhiri kekerasan, yang harus dilakukan Presiden Trump di sini," kata Pence pada konferensi pers di kediaman duta besar.
Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu, menolak istilah gencatan senjata dan mengatakan itu hanya jeda untuk operasi militer Turki. Dia menambahkan bahwa sebagai hasil dari kepemimpinan terampil Presiden Erdogan, Turki mendapatkan apa yang diinginkan.
Dikutip dari CNN, Presiden Trump berterima kasih kepada Wakil Presiden Mike Pence dan Menlu AS Mike Pompeo karena melakukan perjalanan untuk bertemu dengan Presiden Erdogan di Turki, untuk perundingan gencatan senjata.
Trump mengatakan bahwa apa yang dia lakukan di kawasan itu "tidak konvensional."
"Kadang-kadang Anda harus membiarkan mereka berkelahi sebentar ... benar? Kadang-kadang Anda harus membiarkan mereka berkelahi. Ini seperti dua anak dalam banyak hal, Anda harus membiarkan mereka berkelahi dan kemudian Anda memisahkan mereka," kata Trump tentang konflik.
Asap membubung usai serangan yang dilancarkan pemberontak Suriah pro-Turki di atas kota Ras al Ain, Suriah, 15 Oktober 2019. Pejuang Suriah yang didukung Turki melakukan serangan pada Kurdi di kota Ras al-Ain. REUTERS/Stoyan Nenov
Sementara Tentara Nasional Suriah (SNA), pemberontak Suriah yang didukung Turki juga dikenal sebagai Tentara Pembebasan Suriah atau Free Syrian Army (FSA), mendukung kesepakatan yang dicapai antara AS dan Turki untuk menghentikan operasi Turki di Suriah.
Jenderal Mazloum Abdi, komandan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), mengatakan SDF siap untuk mematuhi gencatan senjata dan akan melakukan semua yang diperlukan untuk mencapainya, menurut ketua bersama Dewan Demokratik Suriah Majdoleen Hassan.
SNA mengatakan mereka mengandalkan AS untuk mengimplementasikan perjanjian itu dan menjamin bahwa Partai Uni Demokrat akan melakukan bagian mereka dari perjanjian itu, kata juru bicara Tentara Nasional Suriah Mayor Yousef Hamoud. Partai Uni Demokratik atau PYD adalah partai oposisi Kurdi berbasis Suriah yang sayap bersenjatanya adalah YPG-Kurdi-Suriah.
Seorang komandan Tentara Nasional Suriah yang didukung Turki, Free Syrian Army, mengatakan mereka telah menerima instruksi untuk menghentikan operasi militer dan berhenti maju di Suriah.
Kesepakatan itu secara singkat menghentikan invasi Turki ke Suriah utara yang dimulai Rabu lalu, setelah Trump menarik pasukan Amerika dari perbatasan Turki-Suriah. Penarikan pasukan AS memungkinkan pasukan Turki memasuki kantong wilayah yang dikuasai Kurdi. Namun, dalam banyak hal, perjanjian tersebut merupakan kemenangan bagi Turki, memberikannya sebagian besar dari apa yang diinginkannya dan menghindari ancaman sanksi ekonomi Trump terhadap Turki.
Turki berusaha memaksa mundur para milisi Kurdi Suriah dari perbatasan. Kurdi sebelumnya adalah sekutu Amerika Serikat melawan ISIS, tetapi Turki menganggapnya sebagai teroris.
Sejak 2012, pasukan Kurdi telah memanfaatkan kekacauan perang saudara Suriah untuk membentuk wilayah otonom di sepanjang perbatasan dengan Turki, bebas dari kendali pemerintah Suriah. Mereka memperluas wilayah mereka dengan bermitra dengan pasukan Amerika untuk mengusir militan ISIS dari daerah tersebut.
Perjanjian itu sekarang menjanjikan Turki bahwa pasukan Kurdi itu akan mundur dari daerah itu tanpa perlawanan, sementara Amerika Serikat menerima "zona aman" yang dikontrol Turki dan setuju untuk membatalkan ancaman sanksi ekonomi dari Presiden Trump atas invasi Turki ke Suriah.