TEMPO.CO, Jakarta - Jumlah korban tewas dalam musibah serangan angin topan Hagibis pada Selasa, 15 Oktober 2019, bertambah menjadi 66 orang. Kenaikan jumlah korban tewas itu setelah tim relawan menerobos lumpur dan menggali puing-puing rumah mencari korban dalam daftar hilang.
Dikutip dari aljazeera.com, ribuan rumah masih tidak dialiri listrik. Stasiun televisi NHK mewartakan 66 orang tewas setelah angin topan Hagibis menyapu wilayah tengah dan timur Jepang pada akhir pekan lalu. Lebih dari 200 orang luku-luka dalam musibah ini.
Angin topan ini dinamai topan Hagibis yang diambil dari bahasa Tagalog Filipina, yang berarti 'cepat'. Sekitar 138 ribu rumah tak punya air bersih dan 24 ribu rumah tak dialiri listrik. Kondisi ini telah memunculkan kekhawatiran, khususnya di wilayah utara Jepang dimana suhu diramalkan akan rendah.
Jumlah korban tewas terbesar perfektur Fukushima, wilayah utara Tokyo atau salah satu area pertanian terbesar di Jepang. Di sana, setidaknya 25 orang tewas. Diantara korban tewas seorang ibu dengan anaknya yang terperangkap banjir, sedangkan satu anak ibu tersebut saat ini masih dinyatakan hilang.
Sejumlah masyarakat di kota Koriyama mengatakan banjir bandang yang tiba-tiba telah membuat mereka sangat terkejut. Aparat kepolisian menyusuri rumah-rumah penduduk untuk memastikan tidak ada yang terjebak atau tidak ada mayat di sana.
"Saya telah memeriksa peta banjir, tetapi ketika itu area tempat tinggal saya tidak masuk kawasan berisiko. Saya mendengar berita soal banjir itu, tetapi tidak menduga air akan meluap hingga keluar tanggul kendati sudah ada peringatan," kata Yoshinagi Higuchi, 68 tahun.
Mereka yang selamat menggambarkan air naik dengan cepat hingga ke dada orang dewasa dalam satu jam sehingga membuat mereka sulit menyelamatkan diri ke dataran tinggi. Sebagian besar korban tewas akibat topan Hagibis di kawasan Fukushima adalah lansia.