TEMPO.CO, Paris – Seorang staf teknologi informasi di markas besar polisi Prancis diduga memiliki pandangan radikal mengenai Islam sebelum melakukan serangan senjata tajam.
Serangan itu menewaskan tiga orang polisi dan seorang petugas administrasi. Pelaku tewas tertembak dalam peristiwa yang terjadi pada Kamis, 3 Oktober 2019.
“Pelaku pernah berinteraksi dengan anggota dari kelompok Salafi dan membela tindak kekerasan yang dilakukan atas nama agama,” kata Jean-Francois Ricard, jaksa di Paris, kepada media seperti dilansir Channel News Asia pada Sabtu, 5 Oktober 2019.
Pelaku bernama Mickael Harpon, 45 tahun, merupakan seorang ahli komputer. Dia merupakan kelahiran Martinique di daerah Karibia, yang masih berbatasan dengan wilayah Prancis. Harpon masuk Islam sekitar sepuluh tahun lalu. Namanya sempat masuk dalam radar polisi dalam kasus kekerasan domestik pada 2009.
Harpon memiliki akses tingkat tinggi untuk informasi keamanan. Ini membuatnya bisa menangani informasi sensitif mengenai pertahanan. Ini juga membuatnya harus mengikuti prosedur pengecekan keamanan secara resmi.
Sumber mengatakan Harpon bekerja di seksi yang mengurusi informasi mengenai radikalisasi pelaku jihad.
Korban dari serangan senjata tajam Harpon tewas pada saat sedang menikmati santap siangnya di kantor, yang terletak berdekatan dengan Katedral Notre-Dame.
Sumber di polisi menyebutkan Harpon sempat membeli dua pisau, yang salah satunya berukuran 33 centimeter.
“Dia sama sekali tidak menunjukkan adanya tanda kerisauan saat kembali ke markas polisi seperti terlihat dalam rekaman kamera CCTV,” kata jaksa penuntut. Peristiwa ini berlangsung sekitar tujuh menit.
Insiden ini terjadi setelah Paris sempat mengalami insiden serangan bersenjata api terhadap majalah Charlie Hebdo pada 2015. Serangan teroris lainnya terjadi di Bataclan terhadap warga Prancis yang sedang menonton konser dan menewaskan 131 orang yang dilakukan simpatisan ISIS sebanyak 7 orang.