TEMPO.CO, Hong Kong – Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, mengumumkan penggunaan kembali undang-undang darurat untuk meredam demonstrasi yang kerap berakhir dengan kerusuhan.
UU Darurat ini dibuat pada 1922 dan telah sekitar 50 tahun tidak digunakan. Beleid ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk membuat sejumlah aturan yang dianggap perlu untuk keamanan masyarakat.
Berikut ini 3 hal mengenai UU Darurat ini seperti dilansir Channel News Asia:
Larangan Topeng
Selama empat bulan terakhir terjadi protes massal di Hong Kong, yang menolak legislasi ekstradisi. Banyak demonstran menggunakan penutup wajah atau topeng untuk menutupi identitasnya. Ini dilakukan agar mereka tidak dikenali oleh polisi dan menjadi sasaran penangkapan. Penggunaan masker wajah juga dilakukan demonstran untuk mengurangi dampak gas air mata yang kerap ditembakkan polisi untuk membubarkan massa.
Aturan UU Darurat melarang warga mengenakan masker selama demonstrasi atau parade. Pelanggar aturan ini bisa dikenai hukuman penjara selama sekitar setahun.
Namun, warga Hong Kong masih diizinkan untuk mengenakan topeng wajah di jalanan karena ini menjadi praktek umum sejak terjadinya wabah SARS pada 2003.
Hanya saja, polisi memiliki kewenangan untuk meminta orang membuka masker wajahnya dengan ancaman hukuman enam bulan.
Efeknya
Munculnya larangan ini terjadi di tengah eskalasi demonstrasi pro-Demokrasi oleh warga Hong Kong. Aksi unjuk rasa juga kembali terjadi pada Jumat malam pasca pengumuman UU Darurat pada siang hari oleh Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam.
UU Darurat ini tidak digunakan selama 52 tahun terakhir. Dan ini pertama kalinya UU ini kembali digunakan sejak Inggris mengembalikan Hong Kong ke Cina pada 1997.
UU Darurat juga memungkinkan kepala eksekutif untuk mengeluarkan aturan tanpa perlu melalui proses konsultasi di parlemen. Para pengritik menyebut ini kemunduran bagi pusat industri keuangan di Asia ini, yang selama ini dikenal memiliki sistem hukum yang terpercaya.
UU Darurat ini pertama kali diterapkan oleh penguasa Inggris pada 1922 untuk meredam pemogokan massal oleh para nelayan dan pelaut di Hong Kong karena memprotes gaji yang kecil.
Sanksi
UU Darurat ini mengatur sejumlah sanksi dari mulai denda sekitar 25 ribu dolar Hong Kong atau sekitar Rp45 juta hingga sanksi penjara selama satu tahun. Ini terutama berlaku bagi para pengguna tutup wajah atau masker saat demonstrasi.
Namun, ada pengecualian bagi warga yang memiliki kondisi kesehatan tertentu dan membutuhkan penutup wajah. Warga juga diizinkan menggunakan penutup wajah jika itu terkait dengan ketentuan agama yang dianut. Aturan ini juga mengecualikan penggunaan masker wajah diizinkan bagi profesi tertentu karena kepentingan tugas tertentu.
Jika polisi meminta warga Hong Kong mencopot masker karena diduga mencoba menghindari identifikasi, maka warga harus mengikutinya. Jika melanggar, warga terkena ancaman sanksi dana $10 ribu dolar Hong Kong atau sekitar Rp18 juta atau hukuman penjara selama enam bulan.