TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia termasuk dalam negara yang menggunakan media sosial untuk propaganda politik, disinformasi, dan menyebarkan perbedaan. Propaganda dengan komputasi itu menggunakan algoritma, otomatisasi dan penggunaan data dalam skala besar (big data).
Sebuah studi Universitas Oxford mengungkap bagaimana pasukan siber menggunakan media sosial, untuk menyebarkan disinformasi politik yang bisa memanipulasi opini publik pada era post-truth politics.
Riset ini adalah proyek Computational Propaganda Research Project, yang dilakukan Oxford Internet Institute dan dirilis pada 26 September 2019 dengan judul The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation.
"Manipulasi opini publik di media sosial masih menjadi ancaman untuk demokrasi, seiring dengan makin maraknya penggunaan propaganda terkomputasi dalam hidup sehari-hari. Pemerintah dan partai politik di seluruh dunia menggunakan media sosial untuk menyebarkan disinformasi dan berbagai bentuk manipulasi media. Meski propaganda memang selalu jadi bagian dari politik, penggunaan yang luas dari metode kampanye ini menimbulkan kekhawatiran soal demokrasi modern," kata peneliti dalam laporan ini: Philip Howard, Direktur the Oxford Internet Institute di University of Oxford.
Peneliti utama laporan ini, Samantha Bradshaw, menambahkan bahwa makin mudahnya penggunaan teknologi jejaring sosial seperti algoritma, otomatisasi, dan data dalam jumlah besar, mengubah skala, rentang dan presisi dari penyebaran informasi di era digital. "Meski media sosial pernah dibanggakan sebagai pendorong kebebasan dan demokrasi, kini dia makin disoroti karena perannya dalam menggaungkan disinformasi, memicu kekerasan dan menurunkan tingkat keterpercayaan pada media dan institusi demokratik," katanya.
Penelitian tahun ini menganalisa 70 negara, bertambah dari 48 negara yang sebelumnya diriset pada penelitian 2018 dan 28 negara pada 2017.
Oxford Internet Institute mengatakan bertambahnya negara yang menggunakan sosial media untuk manipulasi informasi ke publik mengkhawatirkan demokrasi.
Riset menemukan bagaimana pasukan siber berperan penting untuk menyebarkan propaganda politik. Manipulasi melibatkan strategi, bot politik, dan teknik propaganda komputasi, untuk memperkuat ujaran kebencian atau mengerahkan pasukan buzzer yang mengancam atau melecehkan pengkritik dan jurnalis daring.
Ada lima platform utama media sosial yang aktif digunakan untuk manipulasi, yakni Facebook, Twitter, WhatsApp, Youtube, dan Instagram.
Propaganda politik membutuhkan pasukan siber untuk memanfaatkan media sosial guna membentuk opini publik, menetapkan agenda politik, dan menyebarkan ide.
Akun palsu digunakan oleh pasukan siber untuk menyebarkan komputasi propaganda. Selama tiga tahun Oxford melacak prevalensi tiga jenis akun palsu: bot, manusia, dan cyborg.
Bot adalah akun yang sangat otomatis dirancang untuk meniru perilaku manusia secara online. Mereka sering digunakan untuk menguatkan narasi atau menangkal perselisihan politik.
Akun yang dikelola manusia tidak menggunakan otomatisasi. Sebaliknya mereka terlibat dengan mengunggah komentar atau tweet, atau secara pribadi menyampaikan pesan individu melalui media sosial. Akun cyborg adalah perpaduan akun otomatisasi dengan kurasi manusia. Laporan Oxford Internet Institute tahun ini menambahkan akun yang diretas sebagai kategori akun palsu yang digunakan pasukan siber.
Dari kajian Oxford, 87 persen negara menggunakan akun manusia, 80 persen akun bot, 11 persen akun cyborg, dan 7 persen menggunakan akun yang diretas.
Secara umum, riset menemukan bahwa pasukan siber Indonesia lebih banyak menggunakan akun bot dan akun yang dikelola manusia. Tujuan mereka adalah menyebarkan propaganda pro pemerintah atau partai politik, memecah belah dan polarisasi, dan menekan pihak yang berseberangan. Pasukan siber Indonesia biasanya menggunakan strategi disinformasi dan memperkuat konten propaganda.
Jenis pasukan siber, menurut Oxford Internet Institute, dibagi dengan besarnya ukuran tim dan waktu kontrak, serta kemampuan strategi dan anggaran. Ada lima jenis kapasitas pasukan siber: tim berkapasitas minimal, rendah, medium, dan tinggi.
Riset menemukan bahwa di Indonesia umumnya pasukan siber menggunakan tim dengan kapasitas rendah (Low Cyber Troop Capacity), yang berarti melibatkan sejumlah tim-tim kecil yang aktif hanya selama pemilu atau dengan agenda tertentu.
Tim berkapasitas rendah cenderung bereksperimen hanya dengan beberapa strategi, seperti menggunakan bot untuk memperkuat disinformasi. Tim-tim ini juga hanya beroperasi di dalam negeri. Selain Indonesia, ada negara lain yang menggunakan pasukan siber golongan ini, di antaranya Austria, Kolombia, Ceko, Jerman, Italia, Spanyol, Korea Utara dan lainnya.
Pasukan siber kapasitas rendah Indonesia biasanya dikontrak ganda dengan anggaran sekitar Rp 1 juta hingga 50 juta.
Laporan Oxford Internet Institute menyoroti cara lembaga pemerintah dan partai politik yang telah menggunakan media sosial untuk menyebar propaganda politik, mencemari informasi digital, dan menekan kebebasan berbicara dan kebebasan pers.
Media sosial, yang pernah digembar-gemborkan sebagai kekuatan kebebasan dan demokrasi, telah disalahgunakan untuk memperkuat disinformasi, menghasut kekerasan, dan menurunkan tingkat kepercayaan pada pers dan institusi demokratis.
CATATAN KOREKSI: Judul dan sebagian isi berita ini diubah pada Jumat 4 Oktober 2019, untuk memperbaiki akurasinya. Redaksi mohon maaf atas kekeliruan sebelumnya.