TEMPO.CO, Hong Kong – Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hong Kong telah mengunjungi wartawan koran “Suara”, yang yang terkena luka tembak peluru karet saat meliput demonstrasi.
Ini terjadi saat Veby meliput demonstrasi Hong Kong, yang berlangsung di daerah Wan Chai, Hong Kong, pada Ahad, 29 September 2019.
“KJRI Hong Kong akan terus memonitor kondisi Veby dan memberikan segala bantuan dan pendampingan yang diperlukan,” kata Vania Alexandra, staf Konsul Muda Penerangan dan Sosial Budaya KJRI Hong Kong, kepada Tempo pada Senin, 30 September 2019.
Vania mengatakan Konsul Jenderal RI di Hong Kong, Ricky Suhendar, dan Tim Satgas Perlindungan WNI telah datang menjenguk Veby di salah satu rumah sakit di Hong Kong. Korban menderita luka di bagian mata kanan dan kening.
“Berdasarkan komunikasi dengan pihak rumah sakit, kondisinya stabil. Namun memerlukan perawatan lebih lanjut,” kata dia.
Saat menjalani perawatan, menurut Vania, Veby dalam kondisi sadar dan dapat berkomunikasi. “Berdasarkan penuturannya, benar pada saat kejadian dia (Veby) sedang melaksanakan tugas liputan unjuk rasa, dan terkena pantulan bean bag round (peluru karet) yang ditembakkan aparat kepolisian,” kata Vania.
KJRI juga berkoordinasi dengan perusahaan media tempat Veby bekerja mengenai biaya perawatan di rumah sakit. "Namun KJRI juga siap untuk turun tangan jika dibutuhkan," kata dia.
Kondisi stabilitas di Hong Kong terganggu sejak Juni 2019 saat publik turun ke jalan menggelar unjuk rasa besar-besaran menolak legislasi ekstradisi. Warga tidak setuju legislasi itu mengizinkan otoritas Hong Kong mengekstradisi warganya ke Cina jika ada masalah hukum di sana.
1650, an Indonesian reporter interviewed on the footbridge of Gloucester Road in Wan Chai was shot in the right eye. #929GlobalAntiTotalitarianism #HKPoliceTerrorism #StandWithHongKong pic.twitter.com/5raKEEiJPG
— kit (@yukisuet1) September 29, 2019
Pemerintah Hong Kong telah menarik legislasi ini. Namun, warga terus berunjuk rasa meminta diterapkannya sistem demokrasi penuh. Ini agar mereka bisa memilih sendiri para pemimpinnya termasuk pejabat untuk posisi kepala eksekutif Hong Kong, yang ditunjuk oleh Beijing, Cina.
Aksi unjuk rasa besar-besaran di berbagai lokasi di Hong Kong ini kerap berakhir dengan bentrokan antara demonstran dan polisi, yang disebut kerap bersikap brutal saat menangkap warga yang berunjuk rasa.