TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Agung Inggris pada Selasa, 24 September 2019, dalam putusannya menyebut keputusan Perdana Menteri Boris Johnson untuk membekukan parlemen menjelang Inggris angkat kaki dari Uni Eropa atau Brexit adalah tindakan yang melanggar hukum. Johnson tidak sependapat dengan putusan Mahkamah Agung itu dan bersumpah akan membawa Inggris ke luar dari Uni Eropa per 31 Oktober 2019.
Putusan Mahkamah Agung Inggris itu sengatan buat Johnson setelah 11 pengadilan di penjuru Inggris mempertanyakan sikap Johnson. Mahkamah Agung dalam putusan juga memberikan anggota parlemen Inggris lebih banyak ruang untuk melawan Johnson yang siap membawa Inggris ke luar dari Uni Eropa dengan atau tanpa kesepakatan.
Dikutip dari reuters.com, Rabu, 25 September 2019, Johnson mengatakan dia menghargai putusan Mahkamah Agung itu, namun dia sangat tidak setuju dengan putusan itu dan menyebut putusan tersebut sebagai sebuah kemunduran yang tidak membuat perbedaan pada agenda Brexitnya.
Putusan Mahkamah Agung Inggris adalah putusan yang selama berpuluh tahun memiliki kekuatan hukum konstitusional dan putusan pada Selasa kemarin adalah pukulan telak bagi tindakan Perdana Menteri Johnson.
Sejumlah pemimpin oposisi Inggris menyerukan agar Johnson secepatnya mengundurkan diri karena telah salah menginformasikan Ratu Elizabeth sehingga dia ikut menuruti nasehat Johnson untuk membekukan parlemen Inggris.
Mahkamah Agung Inggris dalam putusannya menyebut Johnson tidak punya alasan yang tepat untuk membekukan parlemen Inggris selama lima pekan.
Tindakan Johnson itu telah berdampak buruk pada demokrasi dasar Inggris.
Saat berdiri disamping Presiden Amerika Serikat Donald Trump disela-sela sidang umum PBB, Johnson meyakinkan dia tidak akan sudi melepaskan jabatan sebagai Perdana Menteri Inggris. Hal ini pun diyakinkan oleh Presiden Trump yang menyebut Johnson tidak akan kemana-mana, dia akan tetap menjadi Perdana Menteri Inggris.