TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif, ingin menyusun perjanjian nuklir baru dengan Amerika Serikat asalkan Amerika Serikat mencabut sanksi terhadap Iran.
Dalam sebuah wawancara di CNN, yang dirilis pada 24 September 2019, Zarif menguraikan proposal untuk perjanjian yang akan menambah kesepakatan dengan nuklir 2015, di mana Presiden Donald Trump menarik diri pada Mei 2018.
Iran akan siap untuk menandatangani protokol tambahan, memungkinkan inspeksi yang lebih ketat pada fasilitas nuklir Iran pada tanggal yang lebih awal dari yang ditetapkan dalam kesepakatan 2015. Pemimpin Tertinggi Iran, Ali Khamenei, juga akan mengesahkan larangan senjata nuklir dalam hukum, kata Zarif.
Langkah tersebut berpotensi mengatasi salah satu keberatan utama Trump terhadap kesepakatan yang ada, yaitu klausa Sunset yang memungkinkan Iran untuk melanjutkan tingkat pengayaan uranium yang lebih tinggi. Sebagai imbalannya, Trump mesti mencabut sanksi terhadap Iran, dan memiliki langkah diratifikasi oleh Kongres, kata Zarif.
"Kami siap, jika Presiden Trump serius mengenai permanen untuk permanen. Perman yang dimaksud ialah Iran tidak pernah menjadi negara senjata nuklir, tetapi denuklirisasi permanen karena mereka suka mendengarnya," kata Zarif.
Di bawah perjanjian 2015, bantuan sanksi Iran akan dikirim ke Kongres untuk ratifikasi pada 2023.
Pencabutan sanksi AS oleh Kongres dapat menghilangkan kekhawatiran kubu garis keras Iran bahwa perjanjian baru dengan pemerintah AS dapat dibatalkan setelah pemilihan AS berikutnya. Penarikan Trump dari perjanjian tahun 2015 merupakan pukulan telak bagi perjanjian multilateral yang dijabat selama masa jabatan Presiden Barack Obama.
Zarif juga tidak akan mengesampingkan kemungkinan pertemuan antara Trump dan Presiden Iran Hassan Rouhani di sela-sela Majelis Umum PBB minggu ini.
"Asalkan Presiden Trump siap untuk melakukan apa yang perlu," kata Zarif.
Menanggapi komentar Zarif, Perwakilan Khusus AS untuk Iran Brian Hook mengatakan, "Menteri Luar Negeri Zarif melakukan pekerjaan yang sangat baik untuk menggambarkan sifat sebenarnya dari rezim Iran. Mereka sangat berkomitmen untuk kampanye mereka dalam mengekspor kekerasan dan revolusi ekspor, merusak kedaulatan dari negara lain."
Zarif mengatakan bahwa Iran berharap untuk menghindari konflik, menambahkan bahwa negara itu bersedia untuk berbicara dengan saingan-saingan regionalnya, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Tetapi Iran tidak akan melakukan pembicaraan dengan AS kecuali Washington memberikan pencabutan penuh sanksi seperti yang dijanjikan dalam perjanjian nuklir 2015.
Dikutip dari Al Jazeera, para pemimpin Inggris, Prancis, dan Jerman mengeluarkan pernyataan bahwa Iran bertanggung jawab atas serangan terhadap dua fasilitas minyak Saudi awal bulan ini pada Senin, 23 September 2019.
Pernyataan ini dikeluarkan ketika Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengisyaratkan bahwa Inggris dapat menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran, seperti yang telah dilakukan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump tahun lalu.
Pada Jumat, AS mengumumkan akan mengirim pasukan tambahan bersama dengan peningkatan sistem pertahanan udara dan rudal ke Arab Saudi dan Uni Emirat Arab sebagai tanggapan atas serangan yang mereka klaim dilakukan oleh Iran.
CNN Al JAZEERA | MEIDYANA ADITAMA WINATA