TEMPO.CO, Jakarta - Partai Komunis Cina menegaskan bahwa mereka memiliki hak untuk mengendalikan semua agama yang terorganisir, termasuk Islam.
Para kritikus menganggap itu karena ketakutan bahwa organisasi keagamaan dapat menantang kekuatan politiknya. Di masa lalu, represi partai telah memicu respons kekerasan.
New York Times melakukan investigasi yang dirilis pada 23 September 2019, tentang kampanye terbaru Partai Komunis Cina mengekang kebebasan beragama, yang diawali dengan Muslim Uighur di Xinjiang.
Tahun lalu, pemerintah Xi Jinping mengeluarkan arahan rahasia yang memerintahkan pejabat setempat untuk mencegah Islam mengganggu kehidupan sekuler dan fungsi negara.
Arahan yang berjudul "Memperkuat dan Meningkatkan Pekerjaan Islam dalam Situasi Baru," belum dipublikasikan. Arahan dikeluarkan oleh Dewan Negara, kabinet Cina, pada bulan April tahun lalu dan diklasifikasikan sebagai rahasia selama 20 tahun.
Arahan tersebut memperingatkan dampak "Arabisasi" tempat-tempat Islam, mode dan ritual di Cina, dan pengaruh Arab Saudi, sebagai alasan untuk khawatir. Arahan ini termasuk melarang tulisan Arab, mengubah struktur kubah masjid yang bernuansa Timur Tengah, sampai berhenti menerbitkan sertifikasi halal.
Jamaah menunaikan salat di sebuah masjid di Linxia pada Ahad. Terlihat cat semprot menutup vas di sebelah kanan, yang diduga untuk menutupi tulisan Arab. [Gilles Sabrié untuk/New York Times]
Pada tahun 1975, selama Revolusi Kebudayaan Mao, Tentara Pembebasan Rakyat Cina mengepung Shadian, sebuah kota berpenduduk mayoritas Muslim Hui di Provinsi Yunnan di mana penduduk telah memprotes penutupan masjid. Bentrokan pun terjadi, memicu intervensi militer besar-besaran yang menghancurkan kota itu dan menewaskan lebih dari 1.600 orang.
Situasinya kini hampir mirip meski tidak dalam skala besar seperti kasus Yunnan. Pada Agustus 2018 di Weizhou, sebuah desa di Ningxia, ada protes muncul ketika pihak berwenang mengirim pekerja pembongkaran ke masjid yang baru dibangun. Setelah pertikaian yang tegang yang berlangsung beberapa hari, pemerintah daerah berjanji untuk menunda penghancuran dan meninjau kembali rencana tersebut.
Hampir setahun kemudian, petugas polisi masih memblokir jalan-jalan ke desa, mencegah orang asing masuk, termasuk diplomat dan jurnalis.
Cina mengklaim mereka mengizinkan kebebasan beragama, tetapi menekankan bahwa negara harus selalu didahulukan. Pemerintah Ningxia, ditanya tentang pembatasan baru-baru ini pada Islam, mengatakan bahwa Cina memiliki aturan tentang praktik keagamaan seperti negara lain.
Masjid-masjid yang melanggar hukum seperti peraturan bangunan akan ditutup, katanya, dan sekolah-sekolah dan universitas tidak akan mengizinkan kegiatan keagamaan.
"Bahasa Arab adalah bahasa asing," kata pemerintah tentang pembatasan aksara Arab, menambahkan bahwa larangan tulisan Arab telah diberlakukan untuk kenyamanan bagi masyarakat umum.
Haiyun Ma, seorang profesor Muslim Hui di Frostburg State University di Maryland, mengatakan kepemimpinan saat ini memandang agama sebagai musuh utama yang dihadapi negara. Dia mengatakan para pejabat senior telah mempelajari peran yang dimainkan oleh agama, khususnya Gereja Katolik di Polandia, runtuhnya Uni Soviet dan dominasinya di Eropa Timur.
Orang-orang percaya tidak memiliki jalan lain untuk melawan tindakan keras yang semakin intensif. Ma memperkirakan bahwa itu tidak akan segera berubah, tetapi akhirnya akan gagal, seperti yang dilakukan oleh kampanye lain terhadap Muslim.
Islam telah memiliki pengikut di Cina selama berabad-abad. Sekarang ada 22 hingga 23 juta Muslim, minoritas kecil di negara berpenduduk 1,4 miliar. Di antara mereka, Hui dan Uighur merupakan kelompok etnis terbesar yang menganut Islam di Cina.