TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Filipina Rodrigo Duterte telah menginstruksikan semua departemen dan perusahaan milik negara untuk menghentikan negosiasi dan perjanjian tentang hibah dan pinjaman dari negara-negara yang telah mendukung penyelidikan PBB dalam perang berdarahnya terhadap narkoba.
Dengan 18 negara mendukung, Dewan HAM PBB menyetujui resolusi pada bulan Juli untuk menyusun laporan komprehensif tentang tindakan keras tiga tahun Duterte, di mana setidaknya 6.700 orang telah tewas dalam kampanye antinarkoba Duterte.
Sementara sebuah survei yang dirilis menunjukkan warga Filipina tampak puas dengan kampanye berdarah Presiden Rodrigo Duterte melawan narkoba.
Survei dilakukan Social Weather Stations, dilaporkan Reuters, 23 September 2019, bahwa jajak pendapat triwulanan terhadap 1.200 warga Filipina memperlihatkan peringkat "sangat baik" untuk kampanye tiga tahun Duterte, dengan 82 persen puas karena persepsi lebih sedikit obat-obatan terlarang dan kejahatan di Filipina.
Kepuasan itu dibandingkan dengan 12 persen tidak puas, karena mereka percaya perdagangan narkoba masih berkembang dan ada terlalu banyak pembunuhan dan penyalahgunaan polisi. Survei yang dilakukan oleh jajak pendapat independen pada akhir Juni mendapati 6 persen yang masih bimbang.
Jajak pendapat dirilis dua hari setelah kebocoran memo presiden yang memerintahkan departemen dan perusahaan yang dikelola negara untuk menolak pinjaman atau bantuan dari 18 negara Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC) di antaranya Spanyol, Inggris dan Australia, yang mendukung resolusi untuk menyelidiki tindakan keras Duterte.
Sebuah dokumen yang dilihat oleh Reuters, tertanggal 27 Agustus dan ditandatangani oleh Sekretaris Eksekutif Duterte, Salvador Medialdea, mengatakan semua agen dan perusahaan negara harus menangguhkan negosiasi atau perjanjian sambil menunggu penilaian hubungan kami dengan negara-negara ini.
Dalam kampanye maut Duterte, polisi mengatakan mereka telah membunuh lebih dari 6.700 tersangka pengedar narkoba yang semuanya menentang penangkapan, dan menyangkal keterlibatan dalam pembunuhan misterius ribuan pengguna narkoba.
Kepolisian Filipina menolak tuduhan oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia bahwa mereka telah mengeksekusi target, memalsukan laporan dan merusak bukti dan tempat kejadian kejahatan.
Juru bicara kepresidenan, Salvador Panelo, mengatakan jajak pendapat menunjukkan bahwa masyarakat internasional memiliki pemahaman yang keliru tentang apa yang terjadi.
"Jika benar bahwa ada pelanggaran hak asasi manusia maka rakyat negara ini akan bangkit melawan pemerintahan ini," kata Panelo pada Senin.
"Tidak benar bahwa polisi hanya membunuh sesuka hati, mereka tidak bisa melakukan itu," tambahnya.
Dewan HAM PBB yang beranggotakan 47 negara menyetujui resolusi pada Juli untuk menyusun laporan komprehensif tentang pembunuhan, yang dikatakan oleh menteri luar negeri Manila tidak akan diizinkan di Filipina.
Panelo mengatakan penyelidikan dalam negeri sudah dilakukan, dan mengatakan resolusi AS tidak hanya tidak adil, tapi itu juga penghinaan.
Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) sejak tahun lalu telah melakukan pemeriksaan pendahuluan untuk menentukan apakah ada alasan untuk menyelidiki Duterte. Duterte mereposn dengan mengeluarkan Filipina dari keanggotaan ICC.
Phil Robertson, wakil direktur Asia untuk Human Rights Watch, mengatakan survei domestik menunjukkan dukungan untuk Duterte dan kampanyenya adalah alasan mengapa penyelidikan internasional diperlukan.