TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Indonesia mengajak perusahaan Korea Selatan berinvestasi "first class" atau investasi pada teknologi maju di Indonesia.
Menko Maritim Luhut B. Pandjaitan mengajak perusahaan Korea Selatan agar tidak hanya mengimpor bahan mentah dari Indonesia ketika menghadiri forum bisnis Invest Indonesia di Seoul, Korea Selatan, yang digelar KBRI Seoul pada Jumat, 20 September 2019.
Menurut Menko Luhut, investasi first class yang dimaksud adalah mengandalkan teknologi maju, termasuk proses alih teknologi dan peningkatan nilai tambah produk yang dihasilkan, serta harus bisa meningkatkan kualitas SDM Indonesia.
"Saya ingin meyakinkan anda bahwa kami akan meningkatkan posisi Indonesia dalam rantai pemasok global dengan memberikan insentif pada produksi barang-barang yang memiliki nilai tambah," pesan Menko Luhut, seperti dikutip dalam rilis pers kepada Tempo, 22 September 2019.
Korea Selatan merupakan salah satu dari 7 investor asing terbesar di Indonesia dengan total investasi kurun 2014-2019 mencapai US$ 7,58 miliar atau Rp 106,5 triliun. Lima puluh lima persennya terkonsentrasi di sektor sekunder, utamanya permesinan dan elektronik. Sektor lainnya termasuk pertambangan, listrik, gas, air, serta karet dan plastik. Dari sisi lokasi, investasi Korea Selatan ini pun sebagaian besar berada di Pulau Jawa belum meluas ke pulau lainnya.
Menko Maritim RI Luhut B. Pandjaitan ketika menghadiri forum bisnis "Invest Indonesia" di Seoul, Korea Selatan, yang digelar KBRI Seoul pada Jumat, 20 September 2019. [KBRI Seoul]
Secara rinci Menko Luhut mengemukakan peluang investasi di sektor hilir domestik yang memiliki nilai tambah tinggi, seperti pengolahan mineral nikel, bauksit, dan mangan. Saat ini Pemerintah tengah membangun kawasan industri terpadu pengolahan nikel di Morowali yang mencakup smelter, stainless steel, dan carbon steel. Dengan volume ekspor nikel terkini sebesar US$ 612 juta (Rp 8,6 triliun) per tahun (19,25 juta ton), jika sudah diolah menjadi stainless steel nilainya bisa berlipat hingga 10,2 kali, mencapai US$ 6,24 miliar tau Rp 87,7 triliun.
Demikian pula untuk mineral bauksit, sebagai bahan baku utama aluminium, yang sangat berlimpah di Indonesia. Jika diproses menjadi serbuk Alumina nilai ekspornya bertambah hampir 4 kali lipat, sementara jika diolah sampai menjadi blok Aluminium, nilainya bisa naik 11,2 kali lipat. Cadangan bauksit Indonesia sendiri mencapai 1,2 miliar ton yang bisa diolah menjadi blok alumunium dan dijual dengan harga US$ 1.700 (Rp 23,8 juta) per ton. Peluang investasi di sektor hilir smelter bauksit dibuka Pemerintah Indonesia di wilayah Bulungan, Kalimantan Utara.
Untuk itu, pemerintah Indonesia mengajak Korsel meningkatkan investasi di sektor yang melibatkan pengolahan ketiga mineral itu. Sejumlah insentif seperti tax holiday siap diganjar pemerintah sesuai besaran nilai investasi. Di samping itu, regulasi yang ramah investasi, kemudahan memperoleh lahan industri, dan birokrasi perizinan yang jauh lebih pendek diterapkan dengan Online Single Submission (OSS).
Di forum bisnis itu, Menko Luhut didampingi oleh Dubes RI Umar Hadi dan Ketua Komite Kerja Sama Ekonomi Indonesia-Korsel KCCI, Yoon Chun-sung, juga berkesempatan menyaksikan penandatanganan Nota Kesepahaman antara BKPM dengan Korea Overseas Infrastructure & Urban Development Corporation (KIND) dalam bidang kerja sama infrastruktur dan pembangunan wilayah perkotaan.
Dubes RI untuk Korea Selatan, Umar Hadi, mengungkapkan bahwa investor Korsel bisa jadi nomor satu di Indonesia. "Saya yakin kita bisa tingkatkan arus investasi Korea Selatan ke Indonesia dan Indonesia harus jadi destinasi utama penanaman modal bagi Korea Selatan di kawasan," pungkasnya.