TEMPO.CO, Jakarta - Amerika Serikat hanya akan memberikan teknologi nuklirnya pada Arab Saudi jika negara itu menandatangani sebuah kesepakatan dengan Lembaga Pemantau Atom PBB atau IAEA. Syarat itu diajukan agar IAEA bisa melakukan inspeksi kapan pun pada nuklir Arab Saudi.
"Kami telah mengirimi mereka surat yang menjelaskan persyaratan yang akan diminta Amerika Serikat, tentu saja ini sejalan dengan apa yang diharapkan IAEA dari sudut pandang Protokol Tambahan agar IAEA mampu melakukan inspeksi yang sesuai dan bijaksana Arab Saudi," kata Menteri Energi AS Rick Perry, Selasa, 17 September 2019.
Protokol Tambahan yang dimaksud Perry merupakan tambahan dari perjanjian perlindungan antara IAEA dan negara-negara anggotanya, yang memberikan wewenang lebih luas kepada lembaga tersebut dalam memverifikasi program nuklir negara-negara yang memanfaatkan nuklir untuk perdamaian. Lebih dari 130 negara memiliki Protokol Tambahan yang berlaku.
"Kami orang besar dan kami tahu persyaratan untuk bermain di level ini dan Protokol Tambahan adalah apa yang akan diperlukan. Kongres Amerika Serikat telah mengirim pesan yang jelas bahwa mereka tidak akan mengizinkan Arab Saudi untuk mendapatkan teknologi nuklir Amerika Serikat kecuali ada Protokol Tambahan ditandatangani," kata Perry.
Arab Saudi adalah salah satu negara pengekspor minyak terbesar dunia. Riyadh mengatakan ingin mengembangkan tenaga nuklirnya untuk meningkatkan sektor energinya. Akan tetapi naiknya ketegangan Arab Saudi dengan Iran telah menimbulkan kekhawatiran kalau Riyadh bakal menggunakan teknologi nuklir itu untuk mengembangkan senjata nuklir.
Sebelumnya pada tahun lalu Putra Mahkota Mohammed bin Salman mengatakan Kerajaan Arab Saudi akan mengembangkan senjata nuklir jika Iran melakukannya. Sedangkan Menteri Energi Arab Saudi pada akhir pekan lalu mengatakan mereka ingin memperkaya uranium untuk program tenaga nuklirnya, dimana nuklir ini juga bisa digunakan sebagai bahan pembuat bom.
Arab Saudi berencana mengeluarkan tender multi-miliar dolar pada 2020 untuk membangun dua reaktor tenaga nuklir pertamanya dengan perusahaan-perusahaan asal Amerika Serikat, Rusia, Korea Selatan, Cina dan Prancis.
REUTERS - MEIDYANA ADITAMA WINATA