TEMPO.CO, Hong Kong- Peningkatan aplikasi imigrasi menunjukkan semakin banyak orang Hong Kong berencana meninggalkan daerah administrasi khusus itu.
Apalagi, aksi protes di sana berlanjut dari musim panas ke musim gugur tanpa ada tanda-tanda berakhir.
Ini berpotensi memicu terjadinya pelarian modal dan orang secara besar-besaran dari Hong Kong ke negara lain.
Panitia dan peserta mengatakan sejumlah seminar bertema emigrasi bermunculan.
Warga juga semakin banyak yang mengajukan surat keterangan polisi seharga US$29 atau sekitar Rp400 ribu.
Baca Juga:
Permintaan dokumen ini, yang biasa digunakan untuk aplikasi visa dan adopsi anak, meningkat 54 persen menjadi 3.649 pengajuan pada Agustus 2019.
“Ada banyak ketidakpastian di Hong Kong,” kata seorang investor kepada seorang agen properti pada Agustus 2019 saat mengunjungi wilayah tepi kota di Melbourne.
Nilai tanah dan bangunan di kawasan ini sekitar 600 ribu dolar Australia atau sekitar Rp6 miliar.
“Orang seperti saya yang berusia 40 dan 50 tahun, kami memikirkan anak-anak kami,” kata calon investor ini, yang mengaku bernama Lee.
Lee mengatakan sedang mencari rumah cadangan dan lokasi baru untuk tempat tinggal. “Jadi kalau sesuatu terjadi di Hong Kong, kami punya rencana cadangan,” kata dia.
Aksi unjuk rasa di Hong Kong semakin berlanjut sejak Juni 2019 ketika warga menolak legislasi ekstradisi, yang memungkinkan tersangka kriminal diekstradisi ke Cina.
Meski legislasi itu telah dicabut, warga Hong Kong masih terus menuntut yaitu penerapan sistem demokrasi secara penuh. Ini artinya warga bisa memilih sendiri pemimpin dan wakilnya di pemerintahan.
MEIDYANA ADITAMA WINATA