TEMPO.CO, Jakarta - Tokoh oposisi Kamboja dan pendiri Partai Penyelamat Nasional Kamboja atau CNRP, Sam Rainsy, memastikan akan pulang ke Kamboja pada 9 November 2019 kendati dihadapkan pada setumpuk tuduhan pelanggaran hukum dan ancaman penjara. Rainsy saat ini mengasingkan diri dan tinggal di Paris, Prancis.
Rainsy dalam keterangannya, Sabtu, 7 September 2019, mengatakan sudah 25 tahun memperjuangkan demokrasi di Kamboja dan melawan rezim otoriter yang dipimpin oleh mantan anggota Khmer Merah yang diduga pernah melakukan sejumlah upaya pembantaian dan peradilan terhadapnya. Rainsy sudah memutuskan harus pulang ke Kamboja untuk menyelamatkan dan mengembangkan apa yang sudah dicapainya.
Diantara pencapaian yang diklaim Rainsy adalah seruan aksi protes pertama bagi kebebasan dan keadilan sosial, aksi mogok kerja, mendirikan serikat pekerja dan peletakan dasar partai oposisi parlementer pertama yang mengumpulkan hampir separuh dukungan suara dalam pemilu terakhir saat Partai CNRP masih diperbolehkan mengikuti pemilu.
"Saya memilih 9 November sebagai tanggal kepulangan saya. Itu adalah tanggal kemerdekaan Kamboja dan tanggal runtuhnya tembok Berlin di Jerman, sebuah peristiwa bersejarah untuk memulihkan kebebasan disaksikan mata dunia," kata Rainsy.
Sam Rainsy. (AP Photo/Heng Sinith)
Menurut Rainsy, sejak 2017 Kamboja terperosok dalam krisis politik serius, dimana pengaruh Cina terhadap Kamboja mulai semakin besar. Ketegangan kawasan pun disebut Rainsy berpotensi semakin memburuk dengan konsekuensi internasional.
"Saya memutuskan untuk pulang dalam upaya menghentikan dan membalikkan kekuatan otoriterianisme ini," kata Rainsy.
Rainsy sangat yakin masyarakat Kamboja yang telah lama menderita dan dibungkam akan bangkit secara besar-besaran dan damai untuk menuntut perubahan demokratis yang tidak terjadi di pemilu karena rezim berkuasa menolak untuk mengadakan pemilu yang sesungguhnya dengan kehadiran partai oposisi.
Dia pun menyerukan kepada seluruh pendukungnya di Kamboja dan negara-negara yang menandatangani Kesepakatan Perdamaian Paris agar melakukan apapun demi mencegah rezim berkuasa di Kamboja menggunakan kekerasan terhadap masyarakat yang menuntut hak dan kebebasan mereka, dimana hal ini dijamin oleh perjanjian internasional.