TEMPO.CO, Jakarta - Robert Mugabe, perdana menteri pertama dan presiden Zimbabwe setelah merdeka, meninggal pada Jumat di usia 95 tahun.
Mugabe, kepala negara tertua di dunia sebelum kudeta pada tahun 2017, adalah satu-satunya pemimpin yang dikenal warga Zimbabwe sejak kemerdekaan pada tahun 1980, menurut laporan New York Times, 6 September 2019.
Seperti banyak orang yang membebaskan negara mereka, Mugabe percaya bahwa Zimbabwe adalah miliknya untuk dia perintah sampai akhir. Dalam pidatonya di hadapan Uni Afrika pada tahun 2016, dia mengatakan dia akan tetap di pucuk pimpinan sampai Tuhan memutuskan.
Robert Mugabe memulai karir politiknya sebagai pemimpin pejuang kemerdekaan Zimbabwe yang saat itu dikenal sebagai Rhodesia, dan setara dengan pejuang kemerdekaan Afrika Selatan Nelson Mandela yang dihormati.
Sebagai pemimpin gerilyawan revolusioner, ia berjuang melawan kekuasaan minoritas kulit putih dan menghabiskan bertahun-tahun di penjara sebagai tahanan politik.
Dikutip dari CNN, setelah 10 tahun di penjara Mugabe memperoleh gelar sarjana dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan hukum dari University of London. Pada pertengahan 70-an, ia mengambil alih kepemimpinan sayap politik Uni Nasional Afrika Zimbabwe (ZANU), sebuah gerakan pembebasan militan yang bermarkas di Mozambik.
Dari sana, ia membantu mengatur perlawanan bersenjata terhadap pemerintahan kolonial Inggris, dan muncul sebagai pahlawan perang baik di dalam maupun luar negeri ketika konflik berakhir pada 1979.
Ia menjadi perdana menteri pertama Zimbabwe yang baru merdeka setelah pemilihan pada Februari 1980.
Sebagai pemimpin karismatik, Mugabe berkuasa dengan basis yang kuat, mewarisi negara dengan ekonomi yang stabil, infrastruktur yang solid, dan sumber daya alam yang luas.
Presiden Robert Mugabe bertemu dengan anggota senior Pasukan Pertahanan Zimbabwe dan polisi di State House di Harare, Zimbabwe, 19 November 2017. Desakan agar presiden Mugabe untuk mundur semakin menguat. ZIMPAPER-REUTERS
Tapi kebijakan garis kerasnya mendorong ekonomi Zimbabwe yang berkembang hancur setelah sebuah program perampasan tanah dari para petani kulit putih, dan hasil pertanian anjlok dan inflasi melonjak.
Pada 1983, menjadi jelas bahwa pemerintahan Mugabe akan tanpa ampun kepada siapa pun yang menentang pemerintahannya. Dia memimpin pasukan yang melakukan serangkaian pembantaian di kubu oposisi, dan Brigade Kelima negara itu diyakini telah menewaskan hingga 20.000 orang, sebagian besar pendukung saingan politik utama Mugabe.
Ketika Zimbabwe terjerumus ke dalam kehancuran ekonomi, Mugabe dan istrinya menghadapi kritik karena memimpin dengan gaya hidup mewah.
Dia merayakan ulang tahunnya yang ke-85 dengan pesta mewah yang menelan biaya US$ 250.000 atau Rp 3,5 miliar, bahkan ketika negara itu tetap dalam krisis ekonomi. Dia terus mengadakan acara ulang tahun seperti itu setiap tahun, tahun lalu menghabiskan US$ 800.000 atau Rp 11,3 miliar yang dilaporkan dan merayakannya di daerah yang menderita kekeringan dan kekurangan makanan.
Pengangguran Zimbabwe melebihi 80 persen. Pada satu titik, inflasi mencapai 230 juta persen, ketika uang kertas dengan nilai nominal 10 triliun dolar diperkenalkan pada awal 2009, nilainya hanya sekitar US$ 8 (Rp 113 ribu) di pasar gelap. Uang Zimbabwe menjadi sangat tidak berharga sehingga secara efektif digantikan oleh mata uang luar, termasuk rand Afrika Selatan, dolar Amerika Serikat dan yuan Cina.
Robert Mugabe berulang kali menolak seruan untuk mundur, bersikeras dia hanya akan meninggalkan kantor ketika revolusi Zimbabwe selesai.