TEMPO.CO, Jakarta - Asia Bibi, ibu rumah tangga asal Pakistan yang dibebaskan pada 2018 atas tuduhan penodaan agama, mendesak agar dilakukannya investigasi yang sepatutnya pada kasus-kasus penodaan agama. Bibi dibebaskan dari penjara setelah menghabiskan waktu delapan tahun dipenjara.
“Harus ada mekanisme investigasi yang sesuai standar ketika menerapkan undang-undang ini. Kita tidak boleh menganggap setiap orang berdosa melakukan penodaan agama tanpa ada bukti,” kata Bibi, dalam wawancara pertamanya pada media setelah dibebaskan.
Dikutip dari samaa.tv, Minggu, 1 September 2019, Bibi menceritakan penderitaannya selama delapan tahun di penjara. Awalnya dia berusaha tegar, namun setelah anak-anaknya mengunjunginya di penjara Bibi mulai sering menangis dan nelangsa.
Asia Bibi [The Times]
Bibi, ibu lima anak dari Provinsi Punjab, dibawa keluar dari Pakistan setelah mendapat ancaman pembunuhan dari kelompok ekstremis di Pakistan yang menentang vonis bebas Bibi atas tuduhan penodaan agama. Di bawah hukum pidana Pakistan, pelanggaran penodaan agama dapat dihukum dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Bibi, yang seorang non-muslim, saat ini sudah tinggal di Kanada bersama anak-anaknya. Sebelumnya dia divonis hukuman mati pada 2010 setelah diduga menghina Nabi Muhammad.
Ketika itu, dia terlibat cekcok dengan para tetangganya yang beragama Islam. Mereka menolak minum air dari ember yang disentuh Bibi karena dia bukan Muslim.
Bibi meyakinkan dia tidak melakukan penodaan agama, dan kasus itu lebih ke masalah pribadi dengan temannya yang tidak suka padanya dan ingin membalas dendam. Pada 31 Oktober 2018, Mahkamah Agung Pakistan, menjatuhkan vonis bebas pada Bibi, dimana putusan ini memancing unjuk rasa di sejumlah kota di Pakistan dari kelompok-kelompok garis keras.
Dikutip dari france24.com, Minggu, 1 September 2019, penodaan agama secara luas didefinisikan sebagai ucapan yang tidak sopan mengenai Tuhan atau terhadap sesuatu yang disucikan. Sejumlah agama menganggap hal itu sebagai perbuatan kriminal terhadap agama.
Undang-undang penodaan agama umum berlaku di negara-negara mayoritas Islam, seperti negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara serta beberapa negara di kawasan Asia Selatan. Di beberapa negara seperti Afganistan, Iran, Nigeria, Pakistan, Arab Saudi dan Somalia, para terduga pelaku penodaan agama bisa terancam hukuman mati.
Hukuman bagi para terduga penodaan agama juga berlaku di negara-negara Eropa. Vonis yang dijatuhkan mulai dari membayar denda sampai hukuman penjara. Situs france24.com menyebut ada 13 negara dan pemerintah negara bagian di Eropa yang masih memegang undang-undang penodaan agama, yakni Finlandia, Rusia, Skotlandia, Irlandia Utara, Jerman, Polandia, Switzerland, Austria, Italia, Montenegro, Yunani, Turki dan Siprus.
Prancis pernah memberlakukan undang-undang penodaan agama hingga pada 1881, aturan itu sudah benar-benar dihapuskan dan tidak pernah dipulihkan kembali. Spanyol dan Portugal tidak punya undang-undang penodaan agama, namun memiliki undang-undang soal kebencian agama dan aturan hukum itu pun jarang sekali dipergunakan.
Sedangkan Inggris memiliki kondisi yang unik. Aturan soal penodaan agama sudah dihapuskan oleh pemerintah negara bagian England dan Wales pada 2008, namun masih berlaku di Skotlandia dan Irlandia Utara.