TEMPO.CO, Jakarta - Perdana Menteri Inggris Boris Johnson pada Kamis, 29 Agustus 2019, menantang kubu oposisi di parlemen yang tidak mendukung Brexit untuk melumpuhkan pemerintahan atau menantang undang-undang jika mereka ingin menggagalkan rencana Inggris keluar dari Uni Eropa.
Sebelumnya pada Rabu kemarin, 28 Agustus 2019, Johnson meluapkan kemarahannya pada kubu oposisi soal no-deal Brexit atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa tanpa kesepakatan dengan memberlakukan reses parlemen hampir satu bulan.
Menanggapi ucapan Johnson itu, Juru bicara majelis rendah Inggris, John Bercow, mengatakan hal itu merupakan kemarahan konstitusional karena membatasi berdegupnya jantung demokrasi Inggris yang telah berusia 800 tahun. Konstitusi Inggris bertugas mendebat aturan dan keputusan penting dan membentuk sejarah Inggris.
Namun Jacob Rees-Mogg, anggota parlemen Inggris pendukung Brexit mengatakan apa yang dilakukan Perdana Menteri Johnson adalah menantang oposisi untuk menghadapi yang terburuk.
“Orang-orang ini (oposisi) yang meratap dan mengertakkan gigi tahu bahwa ada dua cara untuk melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Pertama, mengubah pemerintah dan kedua mengubah hukum. Jika mereka melakukan salah satu dari itu maka akan berpengaruh. Jika mereka tidak memiliki keberanian atau keberanian untuk melakukan salah satu dari itu maka kita akan pergi meninggalkan Uni Eropa pada 31 Oktober sesuai dengan hasil referendum," kata Rees-Mogg, seperti dikutip dari reuters.com, Kamis, 29 Agustus 2019.
Perdana Menteri Johnson berencana memperpanjang masa reses parlemen Inggris lebih dari biasanya, dimana hal ini didukung oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Namun rencana itu dikritik sejumlah anggota parlemen Inggris dan media.
Lebih dari tiga tahun sejak dilaksanakannya referendum Brexit, Inggris saat ini mengarah pada krisis konstitusi dan terancam keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun yang akan jatuh tempo pada 31 Oktober 2019.