TEMPO.CO, Beijing – Perusahaan pembuat kamera pengawas canggih terbesar dunia asal Cina, Hikvision, mengalami kesulitan berjualan di Amerika Serikat mulai Agustus 2019 di tengah perang dagang kedua negara.
Ini terjadi setelah berlakunya undang-undang di AS yang melarang lembaga dari pemerintah federal AS untuk membeli produk teknologi karena adanya ancaman keamanan.
“Kami tidak tahu dimana dan bagaimana produk kami dijual atau sedang digunakan,” kata seorang perwakilan dari Hikvision dari Xinjiang seperti dilansir Reuters pada Kamis,29 Agustus 2019.
Perwakilan itu mengatakan,”Semua bisnis kami harus selaras dengan kebijakan kepatuhan perusahaan.”
Hikvision mendapat sekitar 30 persen dari total pendapatan US$7.12 miliar atau sekitar Rp101 triliun dari ekspor ke sejumlah negara.
Baca Juga:
Belakangan, perusahaan ini mencoba menjauh dari lembaga polisi di Xinjiang, yang merupakan salah satu klien terbesarnya.
Hikvision diketahui meneken kontrak senilai 1.9 miliar yuan dengan lembaga polisi di Xinjiang.
Belakangan kontrak ini mengecil setelah Kongres AS meloloskan undang-undang yang melarang pengadaan barang dari Hikvision. PBB memperkirakan ada sekitar satu juta orang, yang mayoritas merupakan Muslim minoritas Uighur, ditahan di Xinjiang tanpa ada tuduhan resmi.
Soal ini, perwakilan Hikvision mengatakan perusahaan memperhatikan HAM global secara serius.
Dia beralasan, teknologi kamera pengawas ini juga digunakan di toko-toko, pengawas lalu lintas, dan gedung komersil. Dia mengaku perusahaan mengikuti aturan hukum lokal yang berlaku.
Kasus yang melibatkan Hikvision ini membuat investor global membuang saham perusahaan sebanyak sekitar 300 juta lembar dalam lima bulan terakhir.
Investor merasa khawatir keterlibatan Hikvision dalam program pengawasan besar-besaran Cina di Xinjiang.
“Hikvision harus memutuskan mau menjadi perusahaan global atau jadi perusahaan berbasis di Cina saja,” kata seorang bekas top investor.