TEMPO.CO, Hong Kong – Dua unjuk rasa digelar di Hong Kong pada Sabtu, 17 Agustus 2019, baik demonstrasi anti-pemerintah dan pendukung pemerintah.
Para aktivis berunjuk rasa untuk menunjukkan mereka masih mendapat dukungan luas dari publik menyusul beberapa insiden kekerasan yang terjadi saat unjuk rasa sebelumnya.
Misalnya, sekelompok pengunjuk rasa menggunakan taktik memblokade jalur keberangkatan penumpang di Bandara Internasional Hong Kong pada Selasa kemarin.
Sebaliknya, sejumlah pengunjuk rasa pro-pemerintah Hong Kong menggelar aksi sambil membawa bendera Cina berukuran besar.
“Pemerintah telah mengabaikan kami selama beberapa bulan. Kami harus terus berunjuk rasa,” kata CS Chan, seorang guru matematika saat unjuk rasa guru, yang dihadiri oleh sekitar 20 ribu orang seperti dilansir Channel News Asia pada Sabtu, 17 Agustus 2019.
Polisi menyebut jumlah yang hadir hanya sekitar 8 ribu orang. Pada sore hari kemarin, ribuan warga kembali turun ke jalan di kawasan Hung Hom dan To Kwa Wan, yang merupakan distrik popular dengan turis dari Cina.
Seperti dilansir Reuters, jutaan warga Hong Kong telah turun ke jalan sejak Juni 2019 saat terjadi pembahasan untuk pengesahan legislasi ekstradisi di Dewan Legislatif.
Amandemen ini membuka pintu otoritas Hong Kong mengekstradisi warganya ke Cina jika dianggap melakukan pelanggaran hukum di sana.
Cina dan Hong Kong menganut sistem satu negara dua sistem yaitu Hong Kong mengadopsi sistem Demokrasi dan Cina komunis.
Pembahasan proses amandemen ini sendiri telah dihentikan karena mendapat protes keras dari publik Hong Kong. Namun, warga meminta agar Kepala Eksekutif Carrie Lam mundur dari jabatannya karena dianggap pro-Beijing.
Lam juga dianggap bertanggung jawab mengerahkan polisi untuk meredam aksi unjuk rasa di Hong Kong ini, yang kerap berakhir dengan bentrok fisik antara demonstran dan petugas. Polisi telah menahan sedikitnya 700 orang demonstran. Ratusan orang lainnya terluka ringan hingga berat.