TEMPO.CO, Jakarta - Singapura terancam resesi setelah melaporkan penurunan besar dalam kegiatan ekonomi pada kuartal kedua tahun ini.
Singapura sedang dirugikan oleh perang dagang AS-Cina dan sedang menuju pertumbuhan tahunan terlemah sejak 2009, ketika ekonomi menyusut 0,6 persen selama krisis keuangan global.
CNN melaporkan, 14 Agustus 2019, Singapura pada Selasa memangkas proyeksi pertumbuhan PDB pada 2019 menjadi antara 0 persen dan 1 persen. Sebelumnya, ia memperkirakan ekonomi akan tumbuh antara 1,5 persen dan 2,5 persen.
Penurunan peringkat mengikuti angka yang sangat lemah untuk periode April-Juni, ketika PDB menyusut 3,3 persen dibandingkan dengan kuartal pertama tahun ini.
Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura (MTI) sekarang mengharapkan pertumbuhan PDB berada di antara 0 persen dan 1 persen, dengan angka akhir dipatok di sekitar titik tengah kisaran tersebut. Angkan ini turun tajam dari kisaran perkiraan sebelumnya dari 1,5 persen menjadi 2,5 persen, karena ekonomi mencatat pertumbuhan 0,1 persen pada kuartal kedua.
Menurut Strait Times, penurunan peringkat terjadi di tengah meningkatnya ketegangan perdagangan global dan kelemahan di sektor manufaktur, dan MTI berharap bahwa Singapura kemungkinan akan terus menghadapi tantangan kuat untuk sisa tahun ini.
Tetapi Menteri Perindustrian dan Perdagangan Chan Chun Sing mengatakan bahwa sementara Singapura harus bersiap menghadapi tantangan ke depan, Singapura tidak perlu terlalu pesimistis.
Negara ini terus menarik investasi yang baik, dan ini mencerminkan kepercayaan yang dimiliki investor dalam proposisi nilai jangka panjangnya, tambah Sing.
Selain itu, seperti dikutip South China Morning Post, impor dan ekspor Singapura juga jatuh bebas, dengan ekspor Juni mengalami penurunan terburuk selama enam tahun, yakni turun 17,3 persen.
Ekspor nonmigas dari Singapura ke Cina turun 15,8 persen bulan lalu, sementara ke Hong Kong turun 38,2 persen, dengan banyak barang menuju Hong Kong akhirnya menuju ke daratan Cina.
Sekretaris Tetap untuk Perdagangan dan Industri Gabriel Lim mengatakan Singapura menghadapi imbas perlambatan ekonomi Cina yang berpotensi lebih curam dari perkiraan dan risiko Brexit yang tidak ada kesepakatan.
Risiko juga dapat timbul dari ketidakpastian di Hong Kong, sengketa perdagangan antara Jepang dan Korea Selatan, serta ketegangan di Korea Utara dan Selat Hormuz, tambahnya.
"Secara khusus, elektronik dan cluster rekayasa presisi kemungkinan akan tetap lemah karena penurunan tajam dalam permintaan semikonduktor global," kata Lim.
Namun dia menekankan bahwa masih ada sektor kuat Singapura, seperti kedirgantaraan dan segmen manufaktur, makanan dan minuman, serta informasi dan komunikasi, dan sektor keuangan dan asuransi.