TEMPO.CO, Jakarta - Seorang bocah yang tinggal di desa terpencil di perbatasan India-Pakistan dan Kashmir tewas setelah rebutan bom yang dikira mainan dengan saudara kandungnya.
Bocah berusia 4 tahun itu bernama Ayan Ali. Da menemukan bom saat bermain di sekitar rumah di desa terpencil, desa Jabri di Lembah Neelum, perbatasan Kashmir, India dan Pakistan.
Menurut laporan paman sang bocah, Abdul Qayyum, akhir Juli lalu terjadi kontak senjata dan peluru artileri India menghantam desa itu. Bom yang ditemukan Ali diduga berasal dari kontak senjata dan gagal meledak.
"Dia menemukan bom yang terlihat seperti mainan dan membawanya ke sini," kata Qayyum, seperti dikutip dari Reuters, 11 Agustus 2019.
Bocah itu membawa bom yang dikira mainan ke rumah dan menunjukkannya kepada saudara-saudaranya yang sedang duduk menikmati sarapan.
Bom itu menjadi rebutan di antara mereka yang seketika meledak, membunuh Ali dan melukai delapan saudara kandungnya, ibu dan sepupunya.
“Mereka mencoba merebut benda itu darinya dan kemudian meledak. Dia meninggal di tempat,” kata Qayyum.
Dua saudara bocah malang itu berada di rumah sakit dalam kondisi kritis.
Militer Pakistan mengatakan bom yang dikira mainan itu adalah bom curah, senjata yang melepaskan banyak bom kecil yang dapat membunuh atau melukai orang di daerah yang lebih luas.
Pada kunjungan ke wilayah Jabri pada Jumat, 09 Agustus 2019, seorang jurnalis Reuters tidak dapat memverifikasi secara independen jenis perangkat yang membunuh Ali, meskipun ada tanda-tanda kerusakan di rumah. Sebuah lubang kecil di lantai beton menandai tempat Ali berdiri ketika perangkat itu meledak.
“Anak-anak sedang bermain dan kemudian ada suara keras. Ada asap di mana-mana, saya tidak bisa melihat apa-apa, "kata Sadaf Siddiq, kakak perempuan Ali.
Militer Pakistan mengatakan mereka telah membersihkan sejumlah perangkat yang tidak meledak di daerah tersebut. Seorang pejabat militer menunjukkan perangkat seukuran mainan yang katanya adalah bagian dari bom curah yang sudah dilarang digunakan oleh Konvensi Jenewa.
REUTERS | MEIDYANA ADITAMA WINATA