TEMPO.CO, Jakarta - Cina mulai membeli lebih banyak emas setelah perundingan perang dagang berakhir buntu, dan setelah Donald Trump memberlakukan tarif impor tambahan.
Sputnik melaporkan, 9 Agustus 2019, Cina telah membeli emas selama 8 bulan berturut-turut dan menambahkan 10 ton emas ke cadangan logam mulia yang ditingkatkan pada bulan Juli. Sejak awal tahun, Cina telah membeli 94 ton emas karena dianggap sebagai cara yang aman untuk investasi.
Menurut People's Bank of China (PBOC), kepemilikan emas negara itu mencapai sekitar 1.945 ton, atau 62,26 juta ons. Nilainya sekitar US$ 90 miliar (Rp 1.277 triliun) dengan harga saat ini sekitar US$ 1.500 per ons atau Rp 21,2 juta per ons.
Sementara itu, biaya emas telah mencapai level tertinggi enam tahun di tengah perlambatan ekonomi global dan bank sentral memangkas suku bunga. Seperti yang ditunjukkan oleh analis dari Societe Generale, Cina melakukan belanja emas untuk mendiversifikasi cadangannya jauh dari mata uang AS dan melindungi diri terhadap risiko perang dagang.
Pernyataan tersebut telah digaungkan oleh direktur pelaksana riset komoditas BMO Capital Markets, Colin Hamilton, yang juga mengatakan bahwa langkah PBOC mengungkapkan upaya de-dolarisasi.
Namun, seperti yang ditunjukkan outlet itu, ukuran relatif dari kepemilikan emas Cina masih sama dengan US$ 3,1 triliun bulan lalu (Rp 43.988 triliun).
Namun demikian, Cina telah menjadi salah satu pemimpin dalam penimbun emas baru bersama dengan Polandia dan Rusia, yang mendiversifikasi cadangan mereka.
Bank Sentral Rusia telah menimbun 96,4 ton emas sejak Januari, dan pada minggu lalu total cadangan emas negara itu telah mencapai US$ 100,3 miliar (Rp 1.423 triliun) pada 1 Juli.
Secara keseluruhan Bank Sentral Rusia membeli 374 ton emas pada paruh pertama tahun ini, yang merupakan akuisisi terbesar yang pernah dilakukan oleh lembaga-lembaga publik dalam 6 bulan pertama tahun ini, menurut laporan World Gold Council pekan lalu.
Belanja emas terjadi di tengah pertengkaran perdagangan AS-Cina yang semakin meningkat minggu ini. Presiden Donald Trump mengutuk tindakan Beijing karena mendevaluasi yuan, menyebutnya "manipulasi mata uang" karena Beijing membiarkan yuan jatuh ke level terendah 11-tahun terhadap dolar, sehingga menyebabkan pasar keuangan jatuh.
Sebagai tanggapan, PBOC mengecam keputusan itu, bersikeras bahwa pihak AS telah melabeli Cina dengan tuduhan tak berdasar.
Penimbunan emas dan devaluasi yuan didahului oleh keputusan Trump bahwa ia akan memberlakukan tarif impor 10 persen barang Cina senilai lebih dari US$ 300 miliar (Rp 4.257 triliun) mulai 1 September, sehari setelah perundingan perang dagang di Shanghai gagal.