TEMPO.CO, Jakarta - Dua penembakan massal di tempat berbeda yang terjadi berselang 13 jam membuat Presiden Amerika Serikat Donald Trump angkat bicara. Penembakan pertama terjadi di kota El Paso, Texas, menewaskan 20 orang pada Sabtu siang, 3 Agustus 2019 dan pada Minggu pukul 1 dini hari, penembakan terjadi di Dayton, Ohio, menewaskan 9 orang dalam waktu kurang dari satu menit.
"Tidak ada tempat bagi kebencian di negara kami dan kami akan mengatasi ini. Kita harus menghentikan ini," kata Trump, seperti dikutip dari reuters.com, Senin, 5 Agustus 2019.
Penembakan massal terjadi di kawasan parkir mobil di Walmart, El Paso, Texas. Korban tewas setidaknya 20 orang. Sumber: mirror.co.uk/ IVAN PIERRE AGUIRRE/EPA-EFE/REX
Rentetan penembakan massal ini tak pelak membuat Presiden Trump diserang oleh politikus Amerika Serikat, termasuk dari beberapa kandidat yang mencalonkan diri dalam pemilu presiden 2020. Anggota Senat Amerika Serikat Cory Booker, mengatakan Trump bertanggung jawab atas peristiwa ini karena dia telah menyalakan ketakutan, kebencian dan kefanatikan.
Menurut Trump, pihaknya telah melakukan komunikasi dengan FBI, Jaksa Agung William Barr dan sejumlah anggota Kongres terkait apa yang bisa dilakukan untuk mencegah agar peristiwa kekerasan seperti ini tidak terulang lagi. Namun Trump tidak memberikan informasi spesifik mengenai langkah pencegahan yang akan dilakukan pihaknya.
"Ini (penembakan) juga sebuah penyakit mental jika Anda melihat baik-baik dua kasus ini," kata Presiden Trump.
Atas dua peristiwa penembakan ini, Presiden Trump telah memerintahkan agar dikibarkan bendera setengah tiang sekaligus untuk menghormati para korban. Kepala Gedung Putih sementara Mick Mulvaney membantah tuduhan Partai Demokrat dan menyebut penembakan massal yang terjadi dilakukan oleh individu yang mengalami gangguan mental.
"Tidak ada untungnya membuat peristiwa penembakan ini sebagai sebuah masalah politik. Ini masalah sosial dan kami harus mengatasi hal ini," kata Mulvaney,