TEMPO.CO, Jakarta - Unjuk rasa masih terjadi di Hong Kong. Pada Sabtu malam, 3 Agustus 2019, Kepolisian Hong Kong menembakkan gas air mata ke arah para aktivis berbaju serba hitam di area kota Kowloon, Hong Kong.
Dikutip dari reuters.com, Minggu, 4 Agustus 2019, aparat kepolisian sejak Sabtu siang dikerahkan untuk mengatasi ribuan demonstran yang melakukan aksi turun ke jalan memenuhi kota Mong Kok, sebuah distrik perbelanjaan yang sibuk. Namun setelah pukul 9 malam, para demonstran berusaha pindah ke jalan-jalan lain hingga memancing aparat kepolisian mendorong mereka agar tidak menyebar ke area lain. Aksi dorong - dorongan ini dengan cepat berubah menjadi kerusuhan.
Pada Sabtu tengah malam di area pemukiman Wong Tai Sin, para demonstran melempar payung dan benda-benda apapun ke arah kepolisian. Tindakan itu dibalas dengan menyemprotkan gas air mata. Belum ada laporan jumlah orang yang di tahan dan berapa korban luka dalam peristiwa ini.
Para demonstran itu memprotes RUU ekstradisi yang artinya para pelaku kriminal di Hong Kong akan di ekstradisi ke Cina untuk menjalani persidangan disana. Cina dikenal pernah melakukan pelanggaran HAM.
Unjuk rasa menentang RUU ekstradisi ini sudah berlangsung sejak Juni 2019 dan sering kali berakhir ricuh. Aparat kepolisian dituduh melakukan kekuatan militer secara berlebihan dan gagal melindungi para demonstran dari dugaan penyerangan geng. Kepolisian Hong Kong mengatakan mengutuk radikalisme yang dilakukan oleh para demonstran.
"Saya tidak pernah melihat unjuk rasa seperti ini sebelumnya. Para demonstran itu benar, namun mereka juga tak perlu jadi bertindak anarki. Pemerintah Hong Kong harus mendengarkan suara rakyat dan apa yang mereka perlukan," kata Ray, 57 tahun, pensiunan.