TEMPO.CO, Jakarta - Bentrokan kembali pecah antara kalangan pro-demokrasi dan polisi dalam demonstrasi di Hong Kong pada Selasa malam, 30 Juli 2019 waktu setempat.
Bentrokan dalam demonstrasi di Hong Kong ini dipicu oleh RUU kontroversial yang akan memungkinkan ekstradisi ke Cina daratan.
"Polisi menggunakan semprotan merica dan pentungan terhadap pengunjuk rasa yang berkumpul di luar kantor polisi di distrik Kwai Chung," kata seorang wartawan di tempat kejadian seperti dikutip dari Channel News Asia, Selasa malam, 30 Juli 2019.
Menghadapi bentrokan yang terus berlanjut ini, Senin lalu, pemerintah Tiongkok akhirnya mengambil sikap atas kerusuhan di Hong Kong.
Hong Kong and Macau Affairs Office (HKMAO) mengadakan konferensi pers untuk kali pertama sejak 1997. Mereka menyatakan mendukung pemerintah dan kepolisian Hongkong sepenuhnya untuk mengatasi para demonstran.
“Tidak ada masyarakat beradab atau masyarakat dengan aturan hukum yang bakal menoleransi kerusuhan yang merajalela,” ujar Jubir HKMAO di Hongkong Yang Guang kepada Agence France-Presse.
Dia menduga beberapa orang radikal telah memicu kerusuhan. Kejadian belakangan ini melanggar batas prinsip satu negara dua sistem di Hong Kong. Dia juga menuding politisi negara-negara Barat telah membuat pernyataan tak bertanggung jawab untuk mengacaukan Hong Kong.
Sebelumnya, Beijing lebih memilih untuk diam dan tak ikut campur. Mereka jarang berkomentar dan menyerahkan semuanya kepada pemerintah Hong Kong. Namun, rupanya demonstran berhasil memancing amarah Tiongkok. Mereka terus-menerus bentrok dengan aparat keamanan. Para pemuda Hong Kong yang mengenakan helm dan masker, serta membawa payung kini sangat jamak ditemui hampir setiap hari.
Beijing belum mengambil keputusan mengerahkan pasukan untuk mengatasi galaknya aktivis dalam demonstrasi di Hong Kong kali ini. Ratusan personel tentara Tiongkok sejak awal ditempatkan di Hong Kong untuk pertahanan. Mereka beberapa kali membantu saat terjadi bencana.
DEWI NURITA | CHANNEL NEWS ASIA