TEMPO.CO, Washington – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengancam akan menarik pengakuan status khusus ‘negara berkembang’ yang dimiliki Cina dan Singapura di Organisasi Perdagangan Dunia – WTO.
Trump menulis memo kepada perwakilan dagang AS di WTO agar tidak memperlakukan negara kaya sebagai negara berkembang sehingga bisa menikmati berbagai pengecualian.
Dia memberi tenggat 90 hari agar negara-negara kaya seperti Cina dan Singapura melakukan kemajuan nyata reformasi ekonomi dalam 90 hari.
“WTO rusak saat negara-negara TERKAYA dunia mengklaim status negara berkembang untuk menghindari aturan WTO dan mendapatkan perlakuan khusus. Tidak lagi!! Hari ini saya mengarahkan perwakilan dagang AS untuk mengambil aksi agar negara-negara ini berhenti MENCURANGI sistem dan mengambil keuntungan dari AS!,” cuit Trump di Twitter seperti dilansir Channel News Asia pada Sabtu, 27 Juli 2019.
Memo Trump ini menyebut ada tujuh dari sepuluh negara terkaya dunia mengklaim status negara berkembang. Negara itu seperti Singapura, Hong Kong, Kuwait, Macao, Qatar, Brunei dan Uni Emirat Arab.
Tiga negara lainnya yang juga disebut adalah Meksiko, Korea Selatan, dan Turki, yang merupakan anggota G-20 dan OECD, ikut menyandang status negara berkembang.
The WTO is BROKEN when the world’s RICHEST countries claim to be developing countries to avoid WTO rules and get special treatment. NO more!!! Today I directed the U.S. Trade Representative to take action so that countries stop CHEATING the system at the expense of the USA!
— Donald J. Trump (@realDonaldTrump) July 26, 2019
Perintah Trump adalah agar perwakilan AS di WTO menggunakan semua upaya untuk mendorong perubahan di WTO sambil bekerja dengan semua negara lain.
“Saat negara terkaya mengklaim status negara berkembang, mereka tidak hanya membahayakan negara maju tapi juga perekonomian yang betul-betul membutuhkan perhatian khusus dan perlakuan berbeda,” begitu bunyi memo tadi.
Status negara berkembang di WTO memungkinkan pemerintah untuk mengimplementasikan komitmen perdagangan bebas dengan lebih lama. Status ini juga memungkinkan pemerintah untuk melindungi industri domestik dan subsidi.
AS telah lama mengajukan komplain soal ini dan nyaris tidak menunjuk perwakilan untuk WTO.
Uni Eropa juga sempat mengungkapkan keprihatinan soal status Cina di WTO dan menolak mengakuinya sebagai ekonomi pasar pada akhir 2016.
Pemerintahan Trump juga mengajukan komplain terhadap Cina menggunakan aturan dagang domestik nyaris setiap pekan. Ini meliputi berbagai produk seperti baja, kimia industri, dan karet. Nilai tarif yang ditetapkan naik hingga 200 persen.
Robert Lighthizer, yang menjadi Pejabat Perdagangan AS di WTO, menilai aturan main organisasi itu tidak mampu mengendalikan praktek dagang Cina.
“Amerika tidak pernah menerima klaim status Cina sebagai negara berkembang dan semua indikator ekonomi saat ini meragukan klaim Cina,” begitu pernyataan pemerintah AS. Produk Domestik Bruto Cina merupakan terbesar kedua di dunia setelah AS.
Menanggapi ini, Channel News Asia melansir kementerian Industri dan Perdagangan Singapura mengatakan negaranya tidak berusaha mengambil keuntungan dari fleksibilitas status khusus di WTO.
Status special and differential treatment dari WTO ini memberi negara berkembang hak-hak khusus agar mendapat perlakuan dagang lebih lunak dari anggota WTO lainnya.
“Contohnya kami berkomitmen mengimplementasikan Kesepakatan Fasilitasi Perdagangan WTO segera dan tanpa masa transisi,” kata seorang pejabat Singapura, yang mengaku terus berkomunikasi dengan semua negara termasuk AS soal ini.