TEMPO.CO, Jakarta - Sekitar 115 orang dilaporkan hilang atau diduga tenggelam dan 134 orang berhasil diselamatkan saat sebuah kapal kayu yang membawa imigran terbalik di Laut Mediterania. Juru bicara Angkatan Laut Libya, Ayoub Qassem, pada Kamis, 26 Juli 2019, mengatakan mereka yang selamat ditolong oleh tim penjaga pantai Libya.
Laporan badan PBB yang mengurusi pengungsi, UNHCR, sebelumnya menyebut 150 orang dikhawatirkan tewas dalam musibah kapal terbalik itu.
"Tragedi yang baru saja terjadi ini adalah terburuk di kawasan Mediterania sepanjang 2019," kata Kepala UNCHR Filippo Grandi, seperti dikutip dari reuters.
Seorang anak imigran berada di atas kapal perahu saat ditemukan penjaga pantai Libya di Laut Mediterania di lepas pantai Libya, 15 Januari 2018. Lebih dari 170 pengungsi meninggal ketika menyeberangi Laut Tengah dari Libya ke Italia. REUTERS/Hani Amara
Diperkirakan ada sekitar 250 orang imigran di dalam kapal kayu naas itu. Umumnya para penumpang tersebut berasal dari Eritrea dan negara-negara sub-Sahara Afrika lainnya serta negara-negara Arab. Kapal kayu tersebut terbalik persisnya di dekat Komas, wilayah timur ibu kota Tripoli, Libya.
Libya selama ini telah menjadi pusat lalu-lintas para imigran dan pengungsi. Banyak dari mereka ingin ke Eropa, namun menaiki kapal yang sangat riskan bahaya.
Juru bicara UNHCR Charlie Yaxley mengatakan musibah kapal terbalik di Laut Mediterania hingga Juli 2019 sudah lebih dari 600 orang.
"Sungguh sedih sekali dan ini tampaknya bukan akan menjadi tragedi terakhir yang kami lihat," ujarnya.
Menurut Yaxley, mereka yang selamat dari musibah kapal terbalik pada Kamis, 25 Juli 2019, rencananya dibawa ke dua pusat penahanan di Libya, dimana mereka akan menghadapi risiko lain. Yaxley pun menyerukan agar para imigran itu dibebaskan.
"Kami tahu di dalam tempat penahanan itu tidak ada cukup makanan, air minum dan sering kali kondisinya tidak bersih. Sudah banyak laporan pelanggaran HAM terjadi di sana," kata Yaxley.
Menjawab seruan itu, pemerintah Libya mengatakan para imigran itu telah secara ilegal memasuki dan meninggalkan Libya. Para imigran akan ditahan di pusat-pusat penahanan yang dinilai lebih efektif ketimbang membiarkan mereka pada risiko terperangkap dalam perang sipil di negara asal mereka.