TEMPO.CO, Jakarta - Perdana Menteri Inggris yang baru Boris Johnson akan memimpin Inggris keluar dari Uni Eropa per 31 Oktober mendatang apapun kesepakatan yang terjadi. Johnson pun memperingatkan jika Uni Eropa menolak bernegosiasi, maka pihaknya siap dengan kemungkinan no-deal Brexit.
Pada 23 Juni 2016 lalu, masyarakat Inggris melakukan referendum untuk memutuskan apakah tetap menjadi anggota Uni Eropa atau meninggalkan lembaga terbesar di Benua Biru itu. Hasilnya, 51,9 persen suara yang masuk mendukung agar Inggris angkat kaki dari Uni Eropa. Namun untuk bisa meninggalkan Uni Eropa, Inggris harus membayar uang cerai atau denda 39 miliar pound atau Rp 704 triliun, sebuah jumlah yang sangat besar.
8 Kontroversi PM Inggris Boris Johnson
Dikutip dari reuters.com, Kamis, 25 Juli 2019, Johnson telah mengirimkan pesan tegas kepada Uni Eropa kalau dia akan mengambil pendekatan secara langsung dan tegas untuk bernegosiasi agar ada revisi dalam kesepakatan perceraian Inggris dari Uni Eropa.
“Kami akan memenuhi janji-janji yang diucapkan berulang kali parlemen Inggris kepada masyarakat dan keluar dari Uni Eropa pada 31 Oktober apapun yang terjadi. Penting bagi kita saat bersamaan mempersiapkan segala kemungkinan jika Brussels (Uni Eropa) menolak bernegosiasi dan kita terpaksa keluar dari lembaga itu tanpa kesepakatan apapun,” kata Johnson, 55 tahun, dalam pidato pertamanya sebagai Perdana Menteri Inggris, sambil didampingi pacarnya Carrie Symonds.
Boris Johnson Ternyata Keturunan Muslim dan Tokoh Penting Ottoman
Johnson menjadi Perdana Menteri Inggris setelah Theresa May melepaskan jabatan itu usai tiga kali proposal Brexit yang disorongkannya ditolak parlemen Inggris. Kondisi ini telah membuat Inggris terbelah dan melemah hingga dititik terlemah dalam tiga tahun krisis politik yang melilit Inggris atas persisnya pasca-referendum Brexit.
Presiden Dewan Eropa Donald Tusk dalam suratnya kepada Johnson mengatakan pihaknya siap berdiskusi secara detail dengan Perdana Menteri Inggris yang baru soal Brexit.
Johnson selama ini dikenal sebagai sosok yang paling kuat menyuarakan Brexit. Dia berulang kali pula mengatakan siap membawa Inggris keluar dari Uni Eropa per 31 Oktober 2019 dalam kondisi apapun dan siap menyuntikkan optimisme baru serta energi pada perceraian ini.
Banyak investor berpandangan no-deal Brexit atau Brexit tanpa kesepakatan hanya akan menciptakan gelombang kejut pada perekonomian dunia, membuat perekonomian Inggris terperosok pada resesi, kekacauan di pasar keuangan dan melemahkan posisi London sebagai pusat keuangan terbaik internasional. Menjawab kekhawatiran para investor ini, Johnson pun tak menampik terhadap kemungkinan munculnya sejumlah permasalahan, namun dia meyakinkan negosiasi Brexit bisa jadi tidak seberat yang diklaim segelintir orang.