Dengan tidak adanya doktrin resmi untuk tentara penjinak bom yang bekerja bersama pasukan khusus, itu menjadi tanggung jawab masing-masing unit untuk penempatan mereka, yang berarti pelatihan mereka didasarkan pada waktu dan sumber daya yang tersedia, dokumen menunjukkan.
Secara khusus, dokumen menunjukkan, pelatihan tambahan diperlukan untuk operasi pembersihan jarak jauh, penyusupan, taktik unit kecil dan operasi senjata berat yang digunakan oleh pasukan komando.
Unit-unit infantri yang bekerja sama dengan pasukan Operasi Khusus untuk memasok senjata tambahan telah menghadapi masalah yang sama.
Ratusan tentara dari Divisi Infanteri Keempat kembali dari Afganistan awal tahun ini. Menurut dua perwira Angkatan Darat yang akrab dengan unit ini, mereka hampir tidak memiliki pelatihan dengan pasukan Operasi Khusus sebelum dikerahkan pada 2018.
Para prajurit diberi kelas untuk membiasakan mereka dengan senjata Pasukan Khusus. Tapi gudang senjata unit infantri di Fort Carson, Colorado, biasanya tidak membawa senjata-senjata itu, dan para prajurit tidak bisa berlatih dengan mereka sebelum dikerahkan, ungkap salah satu petugas. Dia mengatakan itu adalah tanggung jawab komando untuk memberikan pelatihan dan peralatan yang tepat untuk kedatangan tentara sebelum mereka bisa bekerja sama dalam misi.
Seorang prajurit infantri di unit itu, Sersan. Jason M. McClary, terbunuh pada November oleh bom pinggir jalan saat mendukung misi Kelompok Pasukan Khusus ke-3 di Ghazni. Tiga orang Amerika lainnya tewas dalam ledakan itu.
Beberapa pasukan infantri diberikan kacamata penglihatan malam dan pelindung tubuh yang ketinggalan zaman dibandingkan dengan apa yang digunakan Baret Hijau, memperlambat mereka pada misi yang lebih menuntut, kata para pejabat.
Menurut dokumen, pasukan AS unit penjinak bom juga berulang kali meminta radio terbaru, pelindung tubuh yang lebih baik dan kacamata penglihatan malam yang lebih baru antara 2016 dan 2019, untuk meminimalisir risiko misi bersama pasukan khusus.