TEMPO.CO, Hong Kong – Aktivis Hak Asasi Manusia di Hong Kong mengkritik sikap pemerintah yang bersikap kurang demokratis dalam menanggapi unjuk rasa publik sebagai penyebab terjadinya kerusuhan akhir-akhir ini.
Baca juga: Unjuk Rasa di Perbatasan Cina -- Hong Kong Berakhir Ricuh
“Pemerintah, Carrie Lam, sejumlah legislator tidak dipilih oleh rakyat. Jadi ada banyak eskalasi tindakan di berbagai distrik untuk merefleksikan isu sosial yang dirasakan masyarakat,” kata Jimmy Sham yang merupakan aktivis dari Civil Human Rights Front seperti dilansir Channel News Asia pada Sabtu, 13 Juli 2019.
Jimmy merupakan salah satu aktivis yang menjadi panitia unjuk rasa menolak amandemen RUU Ekstradisi, yang ditolak publik. Ketentuan di dalam ruu itu memungkinkan pemerintah Hong Kong dan otoritas hukum mengekstradisi warga ke negara lain termasuk Cina meskipun tidak ada kerja sama yurisdiksi.
Baca juga: Media Cina Tuding Barat Dukung Unjuk Rasa Hong Kong
“Jika masalah politik tidak terselesaikan, isu kesejahteraan sosial akan terus muncul tiada akhir,” kata Jimmy.
Kerusuhan pada unjuk rasa Sabtu kemarin, menurut seorang pengunjuk rasa, terjadi karena petugas polisi mencoba membela pedagang asal Cina daratan di Kota Sheung Shui.
Baca juga: Asosiasi Jurnalis Hong Kong Tolak RUU Ekstradisi ke Cina
Seorang pengunjuk rasa lainnya Ryan Lai, 50 tahun, mengatakan ada banyak pedagang asal Cina yang membeli barang di Hong Kong untuk dijual lagi.
“Kota kami jadi kacau. Kami tidak ingin menghentikan kegiatan travel dan bisnis tapi tolong lakukan secara legal. RUU Ekstradisi itu menjadi titik balik bagi kami untuk keluar dan meminta Kota Sheung Shui dikembalikan,” kata Ryan.
Baca juga: Peyanyi Pop Hong Kong Kritik Cina di Forum Dewan HAM PBB
Saat Inggris mengembalikan Hong Kong ke Cina pada 1997, pemerintah Beijing berjanji akan memberikan otonomi hingga 50 tahun. Namun, sejumlah kalangan menilai Cina memperkuat cengkeraman secara cepat.
“Ini menjadi ancaman terhadap kebebasan berekspresi di Hong Kong terlebih munculnya RUU Ekstradisi tadi,” begitu dilansir Channel News Asia.
Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, seperti dilansir Reuters, telah menyatakan rencana amandemen itu padam karena besarnya penolakan publik. Dia juga meminta maaf dan berjanji akan bersikap terbuka serta mendengarkan aspirasi publik menyangkut urusan kepentingan publik.
Baca juga: 1 Juta Warga Hong Kong Demo Tolak RUU Ekstradisi Cina
Namun, desakan agar Carrie Lam segera mundur dari jabatannya masih digaungkan para pengunjuk rasa.
Para pengunjuk rasa mengaku merasa khawatir dengan sikap represif polisi, yang menggunakan tongkat pemukul dan semprotan lada.
“Kami semua merasa takut saat ini. Bagaimana polisi bisa memukul kami dengan tongkat?,” kata salah seorang pengunjuk rasa di Hong Kong sambil melihat genangan darah dari seorang demonstran yang terluka akibat pukulan polisi.