TEMPO.CO, Hong Kong – Pemerintah mengecam aksi unjuk rasa yang diwarnai kekerasan di gedung parlemen Hong Kong pada Senin malam, 1 Juli 2019.
Baca juga: Demonstran Hong Kong Serbu Gedung Parlemen
“Pemerintah Hong Kong mengecam dan sangat menyesalkan tindak kekerasan ekstrim yang dilakukan sejumlah demonstran dengan menyerbu kompleks gedung Dewan Legislasi menggunakan troli dan tiang besi untuk memecahkan kaca gedung,” begitu pernyataan pemerintah Hong Kong seperti dilansir Channel News Asia pada 1 Juli 2019.
Pemerintah mengatakan,”Hong Kong merupakan masyarakat yang menghormati kedaulatan hukum dan tidak pernah menoleransi tindak kekerasan.”
Baca juga: Empat Organisasi Jurnalis Tolak RUU Ekstradisi Hong Kong
Pemerintah mengatakan polisi akan mengambil langkah penindakan untuk melindungi ketertiban publik.
Unjuk rasa ini terjadi pada saat peringatan penyerahan Hong Kong ke Cina oleh Inggris pada 1 Juli 2019, yang terjadi 22 tahun lalu.
Kompleks gedung parlemen menjadi sasaran unjuk rasa selama beberapa pekan terakhir terkait penolakan publik Hong Kong atas rencana pemerintah untuk mengamandemen legislasi soal ekstradisi.
Baca juga: 5 Poin Menarik Soal Kontroversi RUU Ekstradisi Hong Kong
Ketentuan dalam legislasi ini mengatur poin untuk membolehkan pemerintah mengekstradisi warga ke negara lain yang tidak memiliki hubungan kerja sama yurisdiksi termasuk ke Cina.
Pemerintah lalu menghentikan pembahasan amandemen ini di parlemen namun belum mencabutnya.
Ini membuat warga terus mendesak dan meminta kepala eksekutif untuk mundur. Mereka khawatir hak asasi mereka akan dilanggar jika menjalani proses hukum di Cina.
Baca juga: 1 Juta Warga Hong Kong Demo Tolak RUU Ekstradisi Cina
“Ini merupakan akhir dari Hong Kong jika Carrie Lam, kepala eksekutif Hong Kong, terus memimpin. Kami hanya melihat kegelapan di masa depan,” kata Lau, 60 tahun, seorang ibu rumah tangga. “Jadi kami ingin berjuang untuk generasi muda.”
Lau melanjutkan,”Saya punya teman. Mereka tidak mau anak-anak mereka tumbuh di kota yang hanya menjadi salah satu kota di Cina tanpa masa depan.”
Hong Kong kembali ke Cina dengan kesepakatan satu negara dua sistem dengan Inggris. Ini artinya warga Hong Kong bisa menikmati kebebasan berekspresi, yang tidak dinikmati mayoritas warga Cina.