TEMPO.CO, Kuala Lumpur – Pemerintah Malaysia bakal mewajibkan semua anggota parlemen untuk mempublikasikan harta kekayaan.
Baca juga: Parlemen Malaysia Ingin Pelajari Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Ini merupakan bagian janji dari kampanye politik koalisi Pakatan Harapan, yang dikritik karena lamban dalam menjalankan agenda reformasi.
Usulan ini diajukan oleh Menteri Hukum, Liew Vui Keong, pada Senin sore pada 1 Juli 2019. Usulan ini menyatakan semua anggota parlemen termasuk istri dan suami serta anak-anak mereka untuk melaporkan kekayaan mereka kepada Komisi Pemberantasan Korupsi Malaysia atau Malaysia Anti-Corruption Commission (MACC).
Baca juga: Mahathir Bakal Ganti Ketua Komite Pengawas Parlemen Malaysia
“Inisiatif anti-korupsi ini bukan hanya terbatas pada pencegahan tapi juga hukuman. Dari perspektif publik, proses ini tidak hanya dikerjakan tapi juga terpantau,” kata Liew sambil menjelaskan langkah ini merupakan bagian dari reformasi yang tercantum dalam manifesto Pakatan Harapan.
Usulan ini bakal memperluas pelaksanaan komitmen dari koalisi Pakatan Harapan ke pada semua menteri, deputi menteri dan anggota parlemen dari oposisi.
Baca juga: HNW Lakukan Diplomasi dengan Parlemen Malaysia
PH merupakan koalisi yang terdiri dari empat partai pengusung PM Mahathir Mohamad. Dua partai yang paling berpengaruh adalah Partai Keadilan Rakyat dan Partai Pribumi Bersatu Malaysia.
“Ini akan menyamakan tingkat pendanaan partai politik. Selama ini, demokrasi di Malaysia diwarnai pemberian uang dan dana bantuan yang membutuhkan sumber daya besar,” kata Oh Ei Sun, yang merupakan peneliti senior di Singapore Institue of International Affairs.
Baca juga: Parlemen Malaysia Bakal Buka Pusat Layanan Anak, Kenapa?
Menurut data per Mei, ada 15 anggota parlemen dari total 139 anggota parlemen pendukung pemerintah yang masih harus menyerahkan laporan kekayaannya kepada MACC.
Sekarang, kewajiban ini juga akan berlaku bagi semua anggota parlemen oposisi. Bekas PM Najib Razak tercatat sebagai anggota parlemen dari oposisi. Saat ini, seperti dilansir Malaysia Kini, dia sedang menjalani persidangan terkait kasus korupsi dan menerima suap.
Pemerintahan PM Malaysia, Mahathir Mohamad, dikritik karena dianggap menjauh dari janji janji kampanye. Ini misalnya terkait rencana meratifikasi sejumlah konvensi HAM internasional, menghapus hukuman mati dan mencabut hukuman yang dianggap melanggar hak publik seperti UU Penghasutan.