TEMPO.CO, Hong Kong - Gerlombang massa unjuk rasa Hong Kong berhasil memaksa pemimpin Hong Kong untuk menunda Rancangan Undang-undang Ekstradisi disingkat RUU Ekstradisi, dan memungkinkan mereka dibawa ke China untuk diadili.
Namun keberhasilan tersebut menjadi tak menentu untuk 24 orang yang ditangkap semasa aksi damai. Pasalnya pemerintah mengeluarkan pernyataan tak akan memberikan grasi bagi mereka yang tertangkap di garis depan.
Baca : Pengunjuk Rasa RUU Ekstradisi Hong Kong Kepung Markas Besar Polisi
“Total ada 32 orang yang ditangkap, dan delapan kasus dijatuhkan,” kata polisi Hong Kong, dilansir dari Reuters, Sabtu dini hari 22 Juni 2019. Namun polisi tidak merinci tuntutan apa yang diberikan.
Para tahanan ini memicu kemaeahan banyak massa. Mereka menuntut pemerintah membatalkan dan berhenti menyebut aksi damai tersebut sebagai pemberontakan, yang menurut mereka bisa berujung pada masa penahanan yang lebih berat.
Unjuk rasa digelar pasca penolakan pemerintah Hong Kong untuk memenuhi tuntutan pengunjuk rasa yaitu pencabutan RUU Ekstradisi.
Para pengunjuk rasa sempat berkumpul di kompleks gedung pemerintahan Hong Kong sebelum jam kerja. Mereka meneriakkan slogan anti-pemerintah dan sempat membuat macet jalan raya.
Baca : Situs Porno Juga Dukung Demonstrasi RUU Ekstradisi di Hong Kong
Dari sini, mereka bergerak menuju kantor markas besar polisi sambil berteriak “preman politik memalukan” dan ‘lepaskan orang tidak bersalah’. Mereka meminta warga pengunjuk rasa yang ditangkap saat demonstrasi kemarin dibebaskan.
Pada awal pekan ini, seperti dilansir Reuters, Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, meminta maaf untuk kedua kalinya kepada warga. Dia mengaku telah mendengar protes dan kegalauan warga soal RUU Ekstradisi.
FIKRI ARIGI | REUTERS